Tentang Syarifah Murlina

0
2681

Syarifah Murlina adalah seorang pengacara, aktivis Hak Asasi Manusia, pernah menjabat sebagai caretaker Direktur LBH Banda Aceh pada tahun 1999 dan tahun 2004, lembaga tempat ia mulai bergiat dalam kerja-kerja kemanusiaan sejak tahun 1998. Ini adalah tahun-tahun di mana Aceh, tanah kelahirannya, tengah dilanda badai kemanusiaan, oleh sebab konflik GAM versus TNI kiriman Jakarta kian memuncak.

Pada tahun-tahun ini, semua yang tinggal di Aceh, terutama masyarakat sipil adalah pihak paling rentan menjadi korban pelanggaran HAM. Penangkapan yang berujung pada penganiayaan, atau bahkan pembunuhan atau penghilangan secara paksa terus terjadi. Dalam kondisi sosial penuh kekerasan inilah Syarifah Murlina bergabung di LBH Banda Aceh, dan bersama para aktivis lainnya ia mendedikasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Yaitu dengan menjadi kuasa hukum ketika terjadi tindakan-tindakan penangkapan yang dilakukan oleh tentara/polisi, pihak yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran ketika konflik terjadi.

Untuk kerja-kerja tersebut, biasanya Syarifah harus melakukan perjalanan ke desa-desa ketika orang-orang menghubunginya dan mengatakan bahwa seseorang telah ditangkap atau ‘menghilang’. Dia harus bergerak cepat, karena menunda mungkin berarti siksaan atau kematian. Beberapa kali ia harus menyetir sendiri, terutama setelah juru mudi di LBH Banda Aceh harus meninggalkan Aceh karena telah menjadi target penangkapan pada tahun-tahun penuh keburukan itu. Ini adalah konsekuensi dari jalan hidup yang diambilnya. Meski pada beberapa kesempatan ia mengaku merasa takut, tapi dalam kesehariannya ia tidak pernah menolak untuk pergi ke daerah-daerah di mana banyak orang membutuhkannya. Perihal yang membuatnya terus mendapat tempat di hati banyak orang. Semua orang menghormatinya. Bahkan polisi setempat, yang menyebabkan begitu banyak masalah, menunjukkan kekaguman atas upayanya atas nama orang lain.

Setidaknya demikianlah kesaksian Lesyley McCulloch, seorang peneliti asal Amerika Serikat yang dalam kegiatan akademisnya di Aceh pada September 2002, ia bersama temannya Joy Lee Sadler (asal Inggris) dicekal oleh pihak Kepolisian dalam satu razia di seputaran Aceh Selatan. Oleh sebab beberapa bukti yang ditemukan saat penangkapan menurut polisi menguatkan mereka untuk menahan Lesley dan Sadler, dan dalam proses penanganannya bahkan perwakilan Amerika dan Inggris tidak leluasa menemui mereka. Untuk keperluan pembelaan, kantor kedutaan dua negara itu menunjuk LBH Banda Aceh sebagai kuasa hukum mereka. Di sinilah ihwal peneliti yang saat itu tercatat sebagai dosen di Tasmania, Australia, mengenal seorang Syarifah Murlina. Kelak kesaksiannya tersebut dimuat dalam satu artikel berjudul Aceh’s Loss tayang pada 22 Juli 2007 di web InsideIndonesia.org.

“Syarifah lebih dari sekadar teman baik. Saya pernah menjadi kliennya, setelah saya ditangkap bersama dengan dua teman di Aceh Selatan pada bulan September 2002. Melihat Syarifah di sana untuk menyambut dan melindungi kami ketika kami dipindahkan ke Banda Aceh membuat kami merasa lebih lega. Setelah saya dan Joy Sadler dituduh melanggar visa turis dan kami ditahan dalam tuntutan yang sarat unsur politis, selama berbulan-bulan Syarifah bukan hanya seorang pengacara, tetapi juga teman dan orang kepercayaan kami. Ketika dia berada di kota, dia akan mengunjungi setiap hari, kadang-kadang membawa berita tentang kasus kami, sering hanya membawa kata-kata dukungan. Dia mengulurkan kasih sayang di mana saja, dan kapan saja dia bisa. Itu Syarifah,” tulis Lesley.

Lebih lanjut Lesley melihat bahwa Syarifah Murlina tidak pernah berusaha menjadi terkenal atau membuat LBH Banda Aceh terkenal. Tetapi apa yang dilakukannya adalah suatu dedikasi untuk para korban. Prioritasnya selalu kepada korban. Ini mungkin yang paling diingat oleh orang-orang yang bekerja di perlindungan Hak Asasi Manusia dan itulah mengapa ia dihormati dan dicintai oleh rekan kerjanya.

Mengenang sosok Syarifah, Lesley ingat tentang nada bicara dan tingkah lakunya selalu melunak ketika ia berbicara tentang tiga anak dan suaminya. Namun, pada tanggal 26 Desember 2004, ia dan tiga orang anaknya meninggal dalam bencana smong (tsunami).[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here