Pada hari Selasa tanggal 26 November 2024 lalu, Mahkamah Syar’iyah Meureudu menyidangkan kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan Nomor Perkara: 8/JN/MS.Mrd dengan agenda mendengar keterangan saksi, termasuk kesaksian Anak Korban. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Meureudu, Saleh Umar, S.H.I., M.H. selaku hakim tunggal yang mengadili perkara, hadir juga Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pidie Jaya, Ramario Haqri, S.H., dan Advokat LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum Anak Korban.
Namun ada yang janggal dalam persidangan kali itu. Persidangan perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak yang seyogianya dilakukan secara tertutup justru dihadiri oleh anggota TNI dengan mengenakan Pakaian Dinas Lapangan (PDL). Belakangan diketahui anggota TNI itu adalah Serda Moulana yang bertugas di Koramil 04/Pidie. Menyadari kejanggalan tersebut, pendamping hukum LBH Banda Aceh lalu menyampaikan keberatan atas kehadiran anggota TNI yang mengenakan seragam loreng dalam persidangan yang tertutup untuk umum melalui penuntut umum. Akan tetapi penuntut umum tidak mengindahkan keberatan tersebut dan berdalih bahwa kehadiran anggota TNI itu adalah atas permintaannya untuk kepentingan pengawalan.
Alasan penuntut umum itu sebenarnya bertolak belakang dengan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-005/A/Ja/03/2013 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawalan Dan Pengamanan Tahanan. Dalam Pasal 5 SOP tersebut disebutkan bahwa pengawalan tahanan didampingi oleh petugas Kepolisian, bukan dari unsur militer. Apalagi kasus ini adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak ada kaitannya dengan ancaman kedaulatan negara. Alasan penuntut umum yang mengatakan kehadiran TNI dalam persidangan anak yang tertutup untuk umum guna kepentingan pengawalan adalah alasan yang tidak masuk akal dan sangat berlebihan.
LBH Banda Aceh berpendapat, hakim, penuntut umum, dan anggota TNI itu telah melanggar prinsip sistem peradilan pidana anak sekaligus melanggar hak Anak Korban untuk diperiksa dalam suatu persidangan yang tertutup untuk umum. Pasal 153 ayat (3) KUHAP, Pasal 58 UU TPKS, dan Pasal 54 UU Sistem Peradilan Pidana Anak jelas-jelas mengatur bahwa kasus kekerasan seksual, apalagi terhadap anak, harus disidangkan dalam persidangan yang tertutup untuk umum, kecuali dalam agenda pembacaan putusan.
Artinya, setiap orang yang tidak memiliki kepentingan dilarang untuk mengikuti jalannya persidangan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal tersebut dimaksudkan agar identitas anak dapat terlindungi dari publisitas yang dapat mengganggu perkembangan psikologisnya. Menurut Pasal 58 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, hanya orang tua/wali, advokat/pemberi bantuan hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan yang dapat mengikuti jalannya persidangan anak.
Di samping itu, Pasal 22 UU Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum, dan petugas lain dalam memeriksa perkara anak tidak boleh memakai toga atau atribut kedinasan. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga psikologis anak agar anak dapat dengan nyaman dalam memberikan keterangan di muka persidangan. Namun sangat disesalkan, dalam persidangan kasus kekerasan seksual terhadap Anak Korban yang kami dampingi ini justru ada anggota TNI yang mengenakan seragam loreng dalam ruang sidang yang tertutup untuk umum. Hal itu sangat mengganggu psikologis Anak Korban.
Oleh sebab itu, kami telah melaporkan anggota TNI yang bersangkutan kepada Pangdam Iskandar Muda. Kehadiran anggota TNI dengan mengenakan pakaian loreng dalam persidangan anak yang tertutup untuk umum tanpa alasan yang sah secara hukum adalah pelanggaran yang tidak dapat ditolerir. Kami juga telah melaporkan penuntut umum dalam perkara ini kepada Komisi Kejaksaan, Jaksa Agung Pengawasan, dan Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Aceh. Dalam kasus ini, penuntut umum yang seharusnya merepresentasikan kepentingan korban justru melakukan tindakan yang kontraproduktif dengan kepentingan Anak Korban yang harus ia jaga. Kami juga telah melaporkan hakim yang menyidangkan perkara ini kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Hakim sebagai pengendali jalannya persidangan seharusnya dapat mengambil langkah preventif dengan memerintahkan anggota TNI tersebut keluar dari ruang sidang. Namun hal itu tidak dilakukan tanpa alasan yang jelas. Dalam perkara ini hakim telah melanggar ketentuan hukum acara, serta bersikap acuh tak acuh dan mengabaikan kepentingan hak Anak Korban.
Kami berharap ketiga aparat negara yang melakukan pelanggaran tersebut dapat ditindak tegas sebagaimana mestinya. Tidak layak aparat penegak hukum yang tidak memiliki perspektif keadilan untuk anak ditugaskan untuk menangani perkara anak. Kami juga meminta kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk memberikan atensinya dalam perkara ini demi menjamin kepentingan yang terbaik bagi Anak Korban kekerasan seksual.