Kembali ke Sentralisme Kekuasaan? Mengkritisi Pidato Kebudayaan ICAIOS 2024

0
285

Oleh Afridal Darmi, SH, LLM.


SEKALIGUS memperingati 20 tahun bencana Tsunami Aceh, lembaga penelitian the International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) menyelenggarakan hajatan ilmiah dalam bentuk pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Mirza Ardi (MA), seorang akademisi muda Aceh, pada 28 Desember 2024 lalu. Dalam pidato itu MA yang juga peneliti di ICAIOS merangkum perjalanan panjang sejarah Aceh, mulai dari era Iskandar Muda hingga pasca-tsunami 2004. Ini adalah upaya ambisius untuk menggali pelajaran dari sejarah dan menawarkan visi bagi Aceh di masa depan. Dengan narasi yang kaya sejarah dan refleksi, pidato ini tampaknya ingin menginspirasi perubahan struktural untuk mengatasi stagnasi sosial-ekonomi Aceh. Namun, pidato ini tidak lepas dari kelemahan mendasar yang perlu dikritisi, terutama dalam penyederhanaan narasi sejarah, glorifikasi masa lalu, dan solusi yang terasa terlepas dari realitas untuk konteks modern dan gagal menawarkan analisis kritis yang cukup mendalam.

Kelemahan Narasi Sejarah dan Relevansi Solusi

Pidato ini memuliakan era Iskandar Muda, mengangkat sang Sultan sebagai simbol masa  keemasan Aceh. Tidak salah memang, jika yang ingin dicermati semata keberhasilan reformasi agraria dan sentralisasi kekuasaan pada masanya.  Namun, seperti sebuah potret yang terlalu di-retouch, gambar itu melupakan realitas pahit yang menyertai. Pendekatan MA menutup mata terhadap realitas sosial-politik kompleks dan dampak jangka panjang sentralisasi kekuasaan Iskandar Muda. Meskipun berhasil menciptakan stabilitas jangka pendek, ia meninggalkan warisan budaya politik yang sangat bergantung pada kepemimpinan figuratif. Ketika Sang Sultan wafat, sistem ini runtuh karena tidak ada mekanisme keberlanjutan yang memungkinkan pengalihan kekuasaan secara damai.

Parahnya lagi budaya ketergantungan pada figur ini tidak hilang. Hingga kini kerinduan akan munculnya kembali figur sentral negarawan yang menyatukan semua akan selalu membuat orang terkenang dengan orang-orang tertentu. Bagian ini saja sudah terasa menggelitik, apalagi jika ada yang melemparkan celutukan “Masih enak jaman aku, toh?”. Langsung terbayang wajah seorang jenderal yang selalu tersenyum (the Smiling General) santai dengan sebatang cerutu di sela-sela jarinya.

Lagipula, dalam pandangan MA, seberapa sentralkah kekuasaan itu dalam tangan satu orang sekalipun ia adalah seorang Iskandar Muda yang dalam pidato ini digambarkan hampir-hampir seperti seorang demigod? Dan bukankah dalam pandangan ilmu manajemen modern semakin sentralistik suatu sistem ia akan semakin terbuka kemungkinan untuk gagal? Seorang pemimpin yang mengutamakan dan memusatkan pengambilan keputusan dan kekuasaan pada dirinya, serta mengabaikan delagasi tugas dan kewenangannya akan didera keruwetan tak terbayangkan yang hanya akan berujung pada kegagalan. Si pemimpin yang malang itu akan disibukkan sejak matahari terbit sampai terbenam dengan urusan remeh temeh, mikro-manajemen, dan tak akan ada waktu mencapai tujuan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakannya.

Di sinilah paradoks pidato MA. Jika benar Iskandar Muda seberhasil itu dalam pemerintahannya, tidak boleh tidak, itu disebabkan ia juga cakap dalam mendelegasikan tugas. Semakin berhasil ia, berarti semakin baik ia mendelegasikan dan semakin banyak orang yang dia libatkan untuk mengambil peran menjalankan pemerintahannya bersama dirinya sendiri. Jika demikian, pantaskah itu disebut pemerintahan yang sentralistik?

MA memuji “reformasi agraria” yang dilakukan oleh Iskandar Muda segera setelah ia berkuasa. Namun komunikan pidato ini akan segera melihat kontradiksi. Petani dipaksa memenuhi kuota panen ketat, yang mungkin menyelamatkan kerajaan secara ekonomi, tetapi sering kali meninggalkan luka sosial. Mungkin perlu direnungkan, apakah keberhasilan ini benar-benar buah dari pemberdayaan rakyat, atau justru eksploitasi atas mereka? Jikapun benar Aceh berhasil mencapai swasembada di bawah Iskandar Muda, itu tercapai dengan represi daripada penguatan kapasitas lokal. Reformasi agraria seharusnya memberdayakan petani, bukan memaksa mereka untuk tunduk pada kebijakan yang menekan.

Meritokrasi vs. Demokrasi: Solusi Simplistis dengan Argumen yang Lemah

Berkaca pada keberhasilan Iskandar Muda itu, pidato ini mengkritik kelemahan demokrasi Aceh dan mempromosikan “kembali ke sentralisasi kekuasaan”. Namun ada tambahan, Sultan di era modern itu haruslah cakap (merit) orangnya. MA mengusulkan pemerintahan meritokrasi dengan mengambil contoh dari Singapura dan Cina. Namun, pandangan ini gagal menjelaskan bagaimana caranya menemukan sosok seperti Iskandar Muda itu, atau bahkan Lee Kwan Yew, di era modern ini. Usulan membentuk pemerintahan berbasis merit itu  kurang memperhitungkan konteks lokal Aceh, sehingga solusi yang ditawarkan terasa utopian dan tidak realistis.

Selain itu perbandingan dengan Singapura dan Cina ini seakan mengabaikan bagian awal dari pidato ini yaitu keberhasilan pemerintahan Iskandar Muda dengan tradisi pemerintahan berbasis adat seperti Mukim dan Gampong yang menekankan kolektivitas dan partisipasi lokal.  Tradisi ini harusnya memberikan peluang untuk membangun meritokrasi berbasis demokrasi, tanpa harus meniru model otoritarian. Entah mengapa MA dalam pidato ini mengabaikan keberadaan hukum dan lembaga adat ini sebagai pelaksana pemerintahan sekaligus penopang kekuasaan kerajaan Iskandar Muda di tingkat akar rumput. Terlalu banyak pujian untuk sang raja, lupa pada sumbangan mukim dan gampong yang menjadi ujung tombak pemerintahannya di akar rumput.

Keterpesonaan MA pada kesuksesan Cina dan Singapura yang diklaimnya semata karena meritokrasi dalam alam yang sentralistik dan otoritarian luput menjelaskan tentang risiko sistemik yang menyertainya, yakni potensi penyalahgunaan kekuasaan dan minimnya mekanisme akuntabilitas. Dalam sistem seperti ini, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir elit, yang ironisnya adalah masalah yang coba dihindari oleh pidato ini.

Kelemahan demokrasi di Aceh hari ini, seperti patronase politik dan popularitas yang mengalahkan kompetensi, memang perlu diakui. Namun, solusi untuk masalah ini bukanlah menggantinya dengan sentralisme kekuasaan, melainkan mereformasi sistem untuk membuatnya lebih transparan dan akuntabel. Contohnya, memperkuat peran lembaga adat dalam proses demokrasi dapat memberikan keseimbangan antara tradisi dan modernitas.

Pengalaman pribadi Saya di gampong kami di Montasik, yang masih mempraktikkan tradisi musyawarah dalam pengambilan keputusan. Ketika pemerintah desa hendak membangun irigasi baru, seluruh warga berkumpul di balai desa untuk membahas rencana tersebut. Setiap suara didengar, dari warga petani dan non petani hingga ibu rumah tangga.

Keputusan akhirnya mencerminkan semangat kolektivitas yang luar biasa: irigasi dibangun dengan menggunakan dana desa, tetapi juga melibatkan kontribusi tenaga dari warga setempat. Ini adalah contoh nyata bagaimana demokrasi adat dapat berjalan secara efektif. Jika tradisi seperti ini bisa diperluas dan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan yang lebih besar, Aceh memiliki potensi untuk menciptakan model demokrasi yang unik dan relevan.

Solusi Ekonomi dengan Ketergantungan pada Narasi Usang

Pidato ini menyoroti kemiskinan struktural di Aceh, tetapi gagal menawarkan solusi yang relevan untuk tantangan abad ke-21. MA memfokuskan rekomendasi ekonominya pada industrialisasi sebagai solusi, padahal industrialisasi semata tidak lagi relevan dalam konteks hari ini. Pendekatan ala Eropa akhir abad ke-19 ini cenderung menciptakan ketergantungan ekonomi yang rentan terhadap fluktuasi pasar global. Sementara konteks global saat ini membutuhkan pendekatan yang lebih beragam dan adaptif. Dan bagaimana pula dengan ekonomi kreatif dan digitalisasi? Tak disebutkan sama sekali dalam pidato ini. Padahal cukup dengan sedikit observasi pada kegiatan ekonomi sehari-hari sekarang akan memberikan bahan pemikiran bahwa pembangunan ekonomi Aceh membutuhkan diversifikasi. Aceh, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya, memiliki potensi besar untuk mengembangkan pariwisata berbasis budaya, ekonomi kreatif, dan teknologi digital. Peningkatan akses pendidikan dan pelatihan di sektor-sektor ini dapat menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas tunggal.

Pidato ini menyebut pendidikan sebagai kunci pembangunan. Tak kurang MA berkisah tentang sosok-sosok raksasa dalam bidang pendidikan di masa lalu seumpama Madjid Ibrahim, Ali Hasjmi, Tgk Abdullah Lam U, Tgk Hasballah Indrapuri, Tgk Abdullah Ujung Rimba sampai Teuku Nyak Arief dan Tgk Daud Beureueh sebagai orang-orang yang meletakkan dasar-dasar institusionalisasi pendidikan modern di Aceh. MA menyebut inisiatif “Keputusan Keudahsingel” 12 Oktober 1936, yang membolehkan berdirinya sekolah, menyatukan pelajaran umum dengan pelajaran agama, dan diperbolehkan perempuan berguru pada laki-laki. Semuanya itu dipujinya sebagai langkah-langkah penting dalam mereformasi sistem pendidikan Aceh.

Namun sekali lagi yang terjadi adalah glorifikasi terhadap usaha dan keberhasilan di masa lalu, tetapi kita tidak akan menemukan tawaran strategi konkret untuk mereformasi sistem pendidikan Aceh kontemporer. Mereka para orang tua Aceh itu telah menjejakkan jejak sejarah yang besar dengan Keputusan Keudahsingel itu. Tapi tantangannya untuk generasi ini adalah menerjemahkan contoh-contoh itu ke dalam kebijakan nyata yang relevan dengan tantangan hari ini.

Pidato ini memang menyebut pendidikan sebagai kunci, tetapi gagal memberikan strategi konkret. Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah integrasi teknologi dalam sistem pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri modern, bukan hanya mengandalkan kebijakan masa lalu yang telah kehilangan daya relevansinya.

Membangun Aceh yang Relevan dan Visioner

Menjadikan sentralisasi sebagai model ideal bagi Aceh modern tanpa mengkritisi dampaknya adalah langkah mundur. Sistem meritokrasi yang ideal adalah yang tetap berada dalam kerangka demokrasi yang transparan dan akuntabel. Alih-alih memuliakan era Iskandar Muda tanpa kritik ataupun mengharapkan munculnya imam mahdi atau juru selamat politik seperti itu, lebih baik memikirkan membangun institusi yang tangguh, berkelanjutan dan berbasis partisipasi lokal.

Diversifikasi ekonomi dengan mendorong pengembangan sektor-sektor baru yang berdaya saing global adalah lebih relevan di masa ini daripada mengandalkan ekspor komoditas tradisional. Sektor kreatif, pariwisata, dan teknologi digital adalah sektor yang menjanjikan sebagai penggerak ekonomi modern. Bagaimanapun industrialisasi yang mengabaikan dunia teknologi terbaru dan digital akan menjadi dinosaurus yang punah dan memfosil.

Terakhir, reformasi pendidikan tampaknya perlu dilakukan lagi setelah hampir 90 tahun berlalu sejak Teuku Nyak Arif menginisiasi Keputusan Keudahsingel. Sebuah reformasi Pendidikan baru di alam kontemporer yang relevan dengan dunia di millennium ketiga.  Bagaimana teknologi menjadi bagian dari pendidikan bagi generasi baru yang kompeten dan kompetitif.

Yang dibutuhkan sebenarnya adalah refleksi ke masa lalu secara lebih kritis dan solusi yang lebih kontekstual untuk masa kini dan mendatang. Dengan begitu kita dapat bergerak maju ke Aceh yang lebih sejahtera tanpa terjebak pada romantisme masa lalu yang menyandera.


Afridal Darmi, SH, LLM. Seorang advokat profesional dan penulis amatir. Pernah menjejakkan kaki di berbagai sudut Bumi di negeri-negeri yang jauh di empat benua dalam menjalankan misinya sebagai Human Right Defender. Tapi selalu mendapati dirinya merindu Aceh, tempat perahu hatinya tertambat dan membuang sauh, tempat ketiga anak dan istrinya bermukim. Menyukai kopi dan bacaan. Segelas seduhan kopi Aceh dan sebuah buku, serta pojok yang tenang untuk membaca, hanya itu yang diperlukan untuk membuatnya bahagia. Afridal berkediaman di Aceh Besar. Alamat email: afridaldarmi@gmail.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here