Selamat Idul Fitri: Antara Pemaafan, Keadilan, dan HAM atawa Menimbang Maaf versi Agama dan Prinsip Negara Hukum

0
86

Oleh *Afridal Darmi, SH, LLM


Ketika sedang khusyuk memperhatikan isi khutbah Jumat di bulan Syawal ini, saya tertegun. Kali ini sebagai tema khutbahnya Teungku Khatib mengingatkan momentum Idul Fitri dan mengupas ulang tentang anjuran maaf memaafkan. Saya yang terselip sebagai satu orang di antara ratusan jamaah lainnya tak urung mengernyitkan kening ketika otak saya menemukan ketegangan yang substansial ketika nilai spiritual ini dihadapkan pada prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang saya pahami. Selama ini yang saya pahami ajaran memaafkan ini adalah antar dua individu. Dan entah mengapa ajaran pemaafan dalam agama, bahkan ishlah sekalipun tidak menyentuh pemaafan terhadap kekerasan berat yang dilakukan oleh struktur negara dengan menggunakan kekuasaannya.

Dalam rengkuhan semangat Idul Fitri yang masih kita jalani hari-hari ini, di sela suapan lontong opor dan obrolan ramah saat halal bil halal, tentu kehangatan persaudaraan akan tak lepas dari maaf memaafkan. Tradisi Islam dengan indah membangun pemaafan sebagai sebuah anjuran moral yang tinggi. Memaafkan dimaknai sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan serta upaya membangun kedamaian batin dan sosial. Namun, tepatkah nilai ini diterapkan dalam konteks pelanggaran HAM berat, diskursus menjadi jauh lebih kompleks?

Negara hukum dan sistem HAM internasional menekankan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan non-impunitas. Dalam konteks pelanggaran berat seperti genosida, penghilangan paksa, penyiksaan sistematis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak boleh ada kompromi terhadap keadilan. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia menegaskan bahwa setiap pelaku kejahatan berat harus diadili melalui proses hukum yang adil dan transparan. Negara berkewajiban menghormati hak korban atas kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan.

Pemaafan dalam konteks ini bukanlah instrumen hukum, melainkan ekspresi moral pribadi korban. Ketika negara, elite politik, atau tokoh agama mendorong narasi pemaafan secara massal tanpa akuntabilitas, maka hal itu berisiko menjadi alat pembungkaman, pembelokan sejarah, dan bahkan reviktimisasi. Korban yang belum mendapatkan kebenaran dan keadilan justru dibebani tanggung jawab moral untuk memaafkan, seakan-akan pemaafan dapat menggantikan pengadilan. Padahal, dalam prinsip hukum dan HAM, memaafkan adalah hak, bukan kewajiban.

Secara moral dan teologis, pemaafan tidak dapat dipisahkan dari keadilan. Dalam Islam, Tuhan digambarkan sebagai Al-Ghaffar (Maha Pengampun) sekaligus Al-Adl (Maha Adil). Ayat-ayat Al-Qur’an justru menekankan keadilan sebagai fondasi takwa. Injil pun mengajarkan kasih dan pengampunan, namun tidak pernah mengesampingkan pertanggungjawaban moral dan spiritual. Pemaafan dalam agama merupakan anjuran yang ditujukan untuk relasi personal, bukan sarana menutup kejahatan struktural dan kekerasan negara.

Dalam kenyataan sosial-politik, dorongan untuk memaafkan sering kali datang dari negara atau penguasa, bukan dari pelaku kekerasan. Korban pelanggaran HAM berat seperti tragedi 1965–1966, penghilangan paksa aktivis, kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Leste, dituntut untuk memaafkan demi “rekonsiliasi nasional”, sementara para pelaku tidak diproses hukum dan sejarah tidak diungkap secara jujur. Keadaan ini justru memperlebar jurang ketidakadilan dan melembagakan impunitas. Negara yang mendorong pelupaan alih-alih pertanggungjawaban mengkhianati prinsip negara hukum.

Rekonsiliasi sejati bukanlah penghapusan proses hukum, melainkan satu bagian dari keadilan transisional. Proses ini membutuhkan pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pengadilan yang adil, serta reparasi terhadap korban. Pengalaman negara-negara seperti Afrika Selatan, Timor Leste, dan Guatemala menunjukkan bahwa rekonsiliasi tidak bisa dipaksakan tanpa kejujuran sejarah. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Afrika Selatan memberi amnesti hanya kepada pelaku yang mengakui secara penuh keterlibatannya. Tanpa pengakuan dan keadilan, pemaafan menjadi semu.

Indonesia hingga kini belum sepenuhnya menempuh jalan rekonsiliasi yang adil. Negara belum mengakui secara resmi peristiwa pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang harus diadili. Narasi sejarah seringkali dimanipulasi atau disensor. Komnas HAM pun kerap mengalami hambatan dalam menyelesaikan penyelidikan dan penuntutan. Maka, ajakan untuk “memaafkan demi persatuan” sering kali hanya menjadi strategi politik untuk mensterilkan konflik, bukan untuk menyelesaikannya secara bermartabat.

Dalam konteks inilah, penting untuk menolak banalitas pemaafan. Pemaafan yang dipaksakan, yang tidak didahului oleh keadilan dan pengakuan, hanya akan memperpanjang penderitaan korban. Ia menjadi semacam “operasi plastik sejarah”—mengubah tampilan luar tanpa menyentuh akar luka. Korban bukan sekadar penonton dalam drama moral bangsa; mereka adalah subjek yang harus dipulihkan, diberi suara, dan dijamin haknya. Memaafkan tanpa keadilan bukan penyembuhan, melainkan penyiksaan ulang.

Penutupnya, kita harus mengembalikan pemaafan ke tempatnya: sebagai hak pribadi korban, yang hanya dapat diberikan setelah seluruh proses hukum dan keadilan dijalankan. Negara tidak boleh menjadikan agama sebagai alat penghapus kesalahan institusional. Justru sebaliknya, keadilan adalah cermin paling jujur dari ajaran agama. Supremasi hukum dan kejujuran sejarah adalah prasyarat utama bagi rekonsiliasi yang sejati.

Bangsa besar bukan bangsa yang mudah melupakan, melainkan bangsa yang berani mengakui dan memperbaiki. Dan dalam keberanian itulah, barulah pemaafan akan menjadi indah, tulus, dan benar-benar menyembuhkan—bukan sekadar mantera kosong pengganti keadilan.

Sebelum mengakhiri khutbahnya, Teungku Khatib bahkan mewanti-wanti jangan sampai kita tidak mau memaafkan atau bahkan mewariskan dendam, karena perilaku mewariskan dendam itu adalah adat dan perilaku khas kaum tertentu yang dijuluki Al-Maghdhub (Kaum yang Dibenci Tuhan) di dalam Al-Quran.

Keluar dari masjid setelah jamaah Jumat itu bubar, di tengah gerimis penuh rahmat yang menyejukkan, tak pelak rasa gundah di hati saya masih saja meraja.


*Afridal Darmi, SH, LLM adalah advokat dan pekerja HAM. Pernah menjadi Direktur LBH Banda Aceh Periode 2003-2010 dan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Periode 2016-2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here