Mengenal Devil’s Advocate dan “The Devil’s Advocate”

0
169

Oleh *Afridal Darmi, SH, LLM


Jika dua orang aktor sekelas Al Pacino dan Keanu Reeves beradu peran, tak salah jika penonton memasang ekspektasi tinggi. Bukan hanya pada kehalusan peran dan penyelaman total pada karakter yang diperankan, namun juga pada pesan yang ingin disampaikan oleh film itu secara keseluruhan. Demikianlah film The Devil’s Advocate (1997) yang dibintangi oleh Keanu Reeves dan Al Pacino menawarkan eksplorasi menarik tentang moralitas, ambisi, dan konsekuensi pilihan manusia.

Karakter utama, Kevin Lomax (Reeves), adalah seorang pengacara berbakat yang direkrut oleh John Milton (Pacino), seorang figur misterius yang ternyata adalah representasi dari Iblis. Sepanjang film, Kevin menghadapi dilema etis yang mempertanyakan sejauh mana seseorang bisa bertahan dalam lingkungan yang dipenuhi kebohongan dan manipulasi. Hmm, sebuah sindiran keras pada mereka yang menjalankan penghidupan pada profesi ini.

Tapi bagi orang-orang yang terbiasa menggunakan istilah ini dalam profesi mereka, tak urung akan melihat pergeseran antara ide utama di balik konsep devil’s advocate dalam pengertian yang lumrah dengan yang diceritakan film ini. Memang judul film ini merujuk pada istilah “Devil’s Advocate”, namun makna historis dan konseptual aslinya berbeda dari cerita dalam film.

Aslinya, devil’s advocate bukanlah tentang seseorang yang bekerja untuk Iblis, tetapi seseorang yang sengaja memilih atau ditugaskan untuk memainkan peran penentang dalam suatu diskusi atau pengambilan keputusan guna menguji kekuatan argumen yang ada. Artikel ini akan membahas makna asli dari konsep devil’s advocate, penggunaannya dalam berbagai bidang, serta membandingkannya dengan interpretasi yang disajikan dalam film The Devil’s Advocate.

Makna Historis dan Konseptual Devil’s Advocate

Istilah “Devil’s Advocate” berasal dari tradisi Gereja Katolik Roma, yang secara resmi dikenal sebagai Advocatus Diaboli. Ketika gereja berproses menetapkan seseorang menjadi paus atau santo, gereja menetapkan seorang petugas untuk mencari kelemahan dalam bukti-bukti kesucian calon santo tersebut. Tugasnya adalah mengkritisi, mempertanyakan, dan mengajukan argumen yang menentang klaim kesucian. Bahkan acap kali petugas geraja yang menjalankan tugas sebagai advocatus diaboli ini bersemangat sekali menggali keburukan dan kebusukan dalam ranah privat si kandidat. Semuanya itu untuk memastikan bahwa keputusan akhir benar-benar sah dan teruji, si kandidat terpilih benar-benar berjiwa kristiani dan memiliki latar belakang kehidupan yang tidak tercela.

Seiring waktu, makna devil’s advocate meluas dan digunakan dalam berbagai bidang, terutama dalam hukum, politik, akademik, dan debat intelektual. Seseorang yang berperan sebagai devil’s advocate dalam diskusi bukan berarti ia benar-benar menentang karena ia yakin pada kesalahan argumen utama, tetapi ia sengaja mengambil posisi berlawanan untuk menguji ketahanan dan validitas suatu ide. Jadi sekalipun ia dalam hati setuju dengan gagasan atau argumen utamanya, tapi ia sengaja membantah dan mencari kelemahan-kelemahan argument itu. Hal ini sangat penting dalam pengambilan keputusan karena membantu menghindari bias kelompok dan memastikan semua perspektif telah dipertimbangkan sebelum keputusan diambil.

Dalam dunia hukum, devil’s advocate sering digunakan sebagai strategi dalam tahap persiapan pembelaan oleh pengacara ketika menyusun argumen untuk persidangan. Seorang pengacara mungkin menguji kekuatan kasus kliennya sendiri dengan mengambil perspektif lawan atau bertindak seolah-olah sebagai lawan untuk mengidentifikasi kelemahan yang dapat dieksploitasi oleh pihak lawan di pengadilan.

Secara tradisi para pengacara berpengalaman ini, “menggilas” klien atau saksinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, keras, menyudutkan, bahkan merendahkan, berjam-jam sampai kerap sekali saksi atau klien itu “terkapar secara mental dan intelektual”. Semua itu dilakukan demi kesiapan si saksi atau klien sendiri, agar ketika keesokan harinya “digilas” oleh pengacara lawan, jaksa ataupun hakim, si saksi atau klien itu sudah siap mental, atau katakanlah “sudah berpengalaman” menghadapi tekanan serupa. Tentu saja itu dilakukan di luar ruangan sidang, di kantor si pengacara dalam lingkungan yang tidak terdeteksi oleh lawan. Semua itu adalah sah dan tidak melanggar hukum. Dan jauh lebih baik daripada tiba-tiba di ruang sidang si pengacara mendengarkan jawaban yang tidak pernah terungkap sebelumnya.

Selain itu, dalam sistem peradilan pidana, jaksa dan pembela sering kali harus mempertimbangkan berbagai skenario sebelum mengajukan kasus mereka. Seorang hakim juga dapat berperan sebagai devil’s advocate dengan mengajukan pertanyaan kritis kepada para pihak yang berperkara guna memastikan keadilan terjaga.

Dalam politik dan pembuatan kebijakan publik, devil’s advocate digunakan untuk menghindari keputusan yang tergesa-gesa dan tidak berdasar. Saat merumuskan undang-undang, anggota legislatif atau penasihat hukum sering mengambil peran ini untuk meneliti potensi konsekuensi negatif sebelum kebijakan diterapkan. Hal ini penting agar keputusan yang diambil tidak hanya populer secara politis tetapi juga logis dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Dalam perumusan kebijakan, seorang penasihat atau anggota parlemen mungkin mengambil sudut pandang oposisi untuk menguji kekuatan suatu kebijakan sebelum diimplementasikan. Dalam sidang DPR atau debat publik, devil’s advocate dapat digunakan untuk mengeksplorasi semua kemungkinan dampak dari suatu keputusan.

Metode devil’s advocate juga digunakan dalam dunia ilmiah untuk menguji hipotesis dan teori. Ilmuwan yang baik akan mencoba mematahkan teori mereka sendiri sebelum mengajukan kesimpulan. Dengan demikian, proses peer review dalam jurnal akademik sering kali melibatkan peneliti lain yang memainkan peran devil’s advocate untuk menilai validitas studi yang diajukan.

Metode Socratic dalam filsafat juga menggunakan devil’s advocate. Salah satu tujuan utama dari debat filosofis adalah menguji argumen melalui perlawanan. Socrates, misalnya, sering menggunakan metode dialektika di mana ia berperan sebagai devil’s advocate untuk membantu lawan bicaranya mengeksplorasi kelemahan dalam argumen mereka sendiri. Metode Socrates masih digunakan dalam pendidikan hingga hari ini.

Perbandingan dengan Film The Devil’s Advocate

Meski film The Devil’s Advocate mengambil inspirasi dari istilah ini, makna yang digunakan dalam film memiliki perbedaan yang signifikan. Di sini devil’s advocate justru dimaknai secara harfiah, leksikal. Milton (Al Pacino) benar-benar memerankan sosok Iblis (devil) yang bekerja sebagai pengacara (advocate) menggunakan sistem hukum sebagai alat untuk menyebarkan korupsi moral dan menggoda manusia agar berpaling dari nilai-nilai etis. Lebih dekat dengan kisah alegori moral dan supernatural, bukan hanya sekadar konsep perdebatan atau pengujian argumen dalam budaya hukum dan akademik.

Namun demikian bukan tidak ada kesamaannya. Baik dalam dunia nyata maupun dalam film, devil’s advocate berfungsi sebagai penguji dan penantang kebenaran. Sekalipun di dunia nyata orang yang memerankan devil’s advocate ini selayaknya sparring partner dalam latihan tinju. Sedangkan dalam film si devil’s advocate memang menantang kebenaran (bahkan Tuhan) karena memang ia membawa peran Iblis.

Selain itu Kevin Lomax dipaksa untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan dan pilihannya, sebagaimana dalam dunia nyata seseorang yang memainkan peran devil’s advocate sering kali membantu individu atau kelompok untuk melihat akibat dari keputusan mereka.

Film ini juga menyoroti bagaimana seseorang dapat terjerumus ke dalam kesombongan dan manipulasi jika tidak memiliki landasan moral yang kuat, sebuah refleksi dari pentingnya devil’s advocate dalam mengungkap sisi tersembunyi dari suatu argumen.

Meskipun dalam budaya Indonesia ada kecenderungan untuk menghindari konfrontasi langsung demi menjaga harmoni sosial, devil’s advocate tetap penting dalam memastikan bahwa keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan yang kuat dan tidak hanya mengikuti arus mayoritas. Dalam budaya Indonesia, konsep ini dapat disamakan dengan peran “penguji” atau “penantang” dalam diskusi dan debat.

Dengan memahami perbedaan dan persamaan ini, kita dapat lebih menghargai pentingnya berpikir kritis dan mempertanyakan asumsi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pengambilan keputusan pribadi maupun dalam skala yang lebih besar seperti kebijakan publik dan sistem hukum. Sebagaimana dalam film, setiap individu memiliki pilihan untuk mengikuti naluri mereka atau melawan godaan, dan peran devil’s advocate dapat menjadi alat yang berharga dalam menjaga keseimbangan antara moralitas dan logika.


*Afridal Darmi, SH, LLM adalah advokat dan pekerja HAM. Direktur LBH Banda Aceh Periode 2003-2010 dan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Periode 2016-2021.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here