* Rilis tanggal 3 September 2024
SEBANYAK 16 mahasiswa yang ditangkap dalam aksi demonstrasi di depan gedung DPRA pada tanggal 29 Agustus 2024 akhirnya dilepaskan oleh Polresta Banda Aceh pada 31 Agustus 2024 setelah dijemput oleh pihak keluarga. Seluruh mahasiswa yang ditangkap bukan berasal dari Banda Aceh. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di luar Provinsi Aceh. Mengharuskan keluarga untuk datang ke Banda Aceh akan sangat membebani ekonomi keluarga mereka. Padahal di Banda Aceh sendiri sudah ada tim kuasa hukum yang bersedia memberikan bantuan hukum kepada para mahasiswa tanpa biaya sepeser pun. Tapi akses untuk memberikan bantuan hukum itu justru dihalang-halangi oleh Polresta Banda Aceh.
Karena adanya upaya menghalangi akses bantuan hukum yang dilakukan Polresta Banda Aceh, para mahasiswa yang ditangkap akhirnya secara terpaksa menandatangani surat pernyataan tidak didampingi kuasa hukum. Padahal pengacara yang akan memberi bantuan hukum sudah menunggu mereka di luar. Para mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka akan mencabut kembali surat pernyataan tersebut, karena surat itu ditandatangani secara tidak patut akibat ulah Polresta Banda Aceh.
Akses terhadap bantuan hukum merupakan hak asasi seseorang yang tidak boleh dihalangi oleh pihak kepolisian. Pasal 54 jo Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum yang dipilihnya sendiri pada setiap tingkat pemeriksaan. Selain itu, hak atas bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Dalam Pasal 14 ayat (3) ICCPR dengan tegas disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, serta untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri.
Beberapa mahasiswa yang ditangkap mengaku mendapat perlakuan intimidasi dan penganiayaan pada saat diperiksa oleh petugas Polresta Banda Aceh. Kami menduga upaya menghalangi tim kuasa hukum dalam memberikan bantuan hukum memang sengaja dilakukan agar pihak Polresta dapat dengan leluasa memeras pengakuan para demonstran dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi.
LBH Banda Aceh juga membantah pernyataan Polresta Banda Aceh yang menyatakan mereka tidak pernah menahan para mahasiswa, tapi hanya “mengamankan” atau “menempatkan di bawah pengawasan”. Masyarakat jangan mau dibodohi dan terperdaya dengan pernyataan tersebut. Itu adalah pernyataan sesat yang menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman hukum Kapolresta Banda Aceh beserta jajarannya.
Apa yang dilakukan Polresta Banda Aceh terhadap 16 mahasiswa itu sejatinya merupakan suatu upaya paksa. Upaya paksa pada dasarnya merupakan pembatasan terhadap hak asasi seseorang. Ia hanya boleh dilakukan secara sah apabila terdapat dasar hukum yang jelas, serta dilakukan sesuai dengan tata cara, syarat, dan batasan-batasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam KUHAP, hanya dikenal dua bentuk upaya paksa untuk mengekang kebebasan seseorang, yakni penangkapan dan penahanan. Penangkapan hanya boleh dilakukan dalam waktu 1×24 jam. Setelah itu, orang yang ditangkap demi hukum harus dibebaskan. Jika tidak, maka penangkapan tersebut adalah penangkapan yang ilegal. Apabila lebih dari 1×24 jam orang yang ditangkap belum dibebaskan, maka upaya paksa penangkapan harus ditingkatkan menjadi penahanan. Penahanan hanya sah apabila disertai dengan surat perintah penahanan. Jika disimpangi, maka penahanan tersebut menjadi sebuah penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention) yang melanggar hukum dan hak asasi manusia.
KUHAP tidak pernah mengenal istilah upaya paksa berupa “diamankan” atau “pengamanan”. Penggunaan istilah “diamankan” atau “pengamanan” untuk menggantikan upaya paksa penangkapan dan penahanan adalah upaya untuk membodoh-bodohi masyarakat. Dalam kasus ini, 16 orang demonstran jelas-jelas telah dikekang kebebasannya secara paksa oleh Polresta Banda Aceh lebih dari 1×24 jam. Apalagi terdapat fakta hukum bahwa 6 orang demonstran yang dijadikan tersangka diharuskan wajib lapor oleh Polresta Banda Aceh.
Dalam KUHAP, orang yang dikenakan wajib lapor adalah orang yang dikenakan penahanan kota atau orang yang penahanannya sedang ditangguhkan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Polresta Banda Aceh untuk menyangkal bahwa mereka telah melakukan penahanan terhadap mahasiswa peserta aksi. Akan tetapi tidak pernah ada surat perintah penahanan terhadap para mahasiswa, sehingga penahanan yang dilakukan Polresta Banda Aceh adalah penahanan yang melawan hukum dan tidak sah. Penahanan yang melawan hukum adalah tindak pidana terhadap kemerdekaan orang lain yang diancam pidana berdasarkan Pasal 333 KUHP, dengan ancaman penjara paling lama 8 sampai dengan 12 tahun.
Meskipun telah dibebaskan, para mahasiswa peserta aksi mengaku gawai mereka masih disita pihak Polresta Banda Aceh. Penyitaan merupakan salah satu upaya paksa dalam KUHAP yang dikenakan terhadap barang milik seseorang. Agar penyitaan menjadi sah, KUHAP mensyaratkan harus adanya Berita Acara Penyitaan. Namun dalam kasus ini, tidak pernah ada berita acara atas penyitaan yang dilakukan Polresta Banda Aceh terhadap gawai milik peserta aksi.
LBH Banda Aceh menilai terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Polresta Banda Aceh dalam kasus ini. Apa yang dipertontonkan oleh Polresta Banda Aceh memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa Polisi yang Presisi dan humanis hanyalah isapan jempol belaka. Bagaimana mungkin masyarakat bisa mempercayakan upaya penegakan hukum kepada orang-orang yang sebetulnya tidak paham dan tidak taat terhadap hukum. Upaya penegakan hukum seringkali dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum dan menindas yang lemah.
Polisi tidak dapat menuntut masyarakat untuk patuh hukum, sedangkan mereka sendiri melakukan tindakan-tindakan yang kontra produktif dengan hukum. Jika Polisi menginginkan masyarakat patuh hukum, maka berilah contoh yang baik dan mulailah dari institusi sendiri. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa pelanggar hukum yang sebenarnya justru adalah Polresta Banda Aceh. LBH Banda Aceh sedang mendalami kasus ini lebih lanjut dan akan segera mengambil langkah-langkah hukum yang dianggap perlu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Polresta Banda Aceh.
Penetapan Tersangka Terhadap 6 Orang Mahasiswa Adalah Upaya Kriminalisasi yang Dipaksakan
Pada tahun 2023 yang lalu Polresta Banda Aceh melepaskan terduga pelaku korupsi KKR Aceh karena mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dicuri. Padahal secara hukum, pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidana. Ironisnya sekarang Polresta Banda Aceh justru mengkriminalisasi anak bangsa yang menyuarakan keresahan rakyat. Bagi mereka pelaku korupsi itu seolah-olah lebih mulia dan lebih dapat dimaafkan daripada mahasiswa yang menyuarakan keresahan rakyat.
Keenam orang mahasiswa dikriminalisasi oleh Polresta Banda Aceh karena membuat spanduk bertuliskan “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab”. Spanduk itu sebetulnya mencerminkan kerinduan mahasiswa akan polisi-polisi humanis yang menghormati hak asasi manusia. Karena di banyak kasus, polisi justru mempertontonkan hal sebaliknya. Sebut saja misalnya kasus Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, dan banyak kasus-kasus lainnya. Aksi para mahasiswa itu kemudian direspon secara berlebihan oleh Polresta Banda Aceh. Para mahasiswa diperlakukan secara sewenang-wenang, ditangkap, dianiaya dan dikriminalisasi. Polresta Banda Aceh bisa saja membantah dan tersinggung dengan tulisan yang ada pada spanduk tersebut. Akan tetapi tindakan mereka terhadap para mahasiswa seakan mengkonfirmasi tulisan yang ada pada spanduk itu.
LBH Banda Aceh menilai penetapan tersangka yang dilakukan Polresta Banda Aceh terhadap 6 orang mahasiswa peserta aksi merupakan suatu bentuk kriminalisasi yang dipaksakan. Para mahasiswa dikriminalisasi menggunakan pasal ujaran kebencian (hate speech) sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan/atau Pasal 157 KUHP. Jika dibaca kedua ketentuan pasal tersebut, pasal itu sebenarnya berbicara mengenai ujaran kebencian terhadap segolongan rakyat Indonesia. Sedangkan Polisi bukanlah segolongan rakyat Indonesia. Mereka adalah segolongan pelayan rakyat Indonesia. Jangan disamakan kedudukan antara pelayan dengan tuan. Polisi adalah pelayan, rakyat Indonesia adalah tuannya. Dalam konsep ketatanegaraan, derajat rakyat lebih tinggi dari Polisi, sebab kedaulatan negara ini berada di tangan rakyat, bukan di tangan Polisi. Kewenangan yang dimiliki Polisi bersumber dari kedaulatan rakyat dan polisi juga digaji menggunakan uang rakyat. Dengan demikian ketentuan Pasal 156 dan 157 KUHP tidak dapat diterapkan dalam kasus ini.
Sebaliknya, kami justru menganggap Polresta Banda Aceh lah yang telah melakukan hate speech terhadap para mahasiswa dengan menuduh mereka sebagai anarko. Mereka adalah anak kritis bangsa yang sedang menyuarakan suara rakyat. Tetapi Polresta Banda Aceh justru membangun narasi seolah-olah mereka adalah anarko yang ingin menghapus tatanan dunia, hanya karena adanya lambang A dengan lingkaran O yang sering diasosiasikan sebagai lambang anarki. Lambang itu dapat ditemukan dengan mudah di baju-baju, topi, dan aksesoris lainnya yang dijual bebas di pasaran. Orang yang mengenakan baju atau topi dengan lambang anarki tidak dapat serta merta dianggap sebagai penganut anarkisme.
Demikian pula, orang yang menggunakan aksesoris burung garuda juga belum tentu menganut paham nasionalisme Indonesia. Ada beberapa persoalan masyarakat yang dijadikan isu dalam demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa. Di antaranya terkait dengan isu kemiskinan, mafia tanah, korupsi, upah murah, dan Pendidikan. Apabila dilihat tuntutan para peserta aksi itu, tidak ada satupun dari mereka yang menuntut untuk dihapuskannya tatanan yang ada di Indonesia, maupun tuntutan-tuntutan lainnya yang mencerminkan mereka sebagai penganut anarkisme.[]