Officium Nobile: Sebuah Perspektif Alternatif

0
312


Oleh Afridal Darmi, S.H., LL.M.

Officium Nobile. Siapa yang tak bangga pada gelar yang megah itu? Setiap advokat yang baru dilantik, pertama sekalinya menggenggam kartu advokat yang cemerlang itu merasakan kebanggaan yang tak terkira. Tapi kalau kita sejenak merenung, kembali ke dasar dan pangkal mula, maka makna Officium Nobile perlu direnungkan kembali.

Dalam arus utama pemikiran hukum, Officium Nobile secara umum dipahami sebagai “profesi terhormat” atau “noble profession”. Istilah ini lazim digunakan dalam literatur hukum untuk menggambarkan profesi advokat sebagai pekerjaan yang tidak hanya membutuhkan keahlian teknis dalam hukum, tetapi juga komitmen moral yang tinggi terhadap keadilan dan kepentingan publik.

Menurut Roscoe Pound, seorang filsuf hukum dari Amerika Serikat, profesi hukum adalah “a public service and not a business,” dan karena itu seorang pengacara adalah “an officer of the court with a duty to serve justice.” (Roscoe Pound, The Lawyer from Antiquity to Modern Times, 1953). Dengan kata lain, kehormatan seorang advokat berasal dari peran sosialnya yang vital, bukan dari status formal semata. Demikian juga Professor David Luban, seorang pakar etika profesi hukum Georgetown University, “Lawyers are not just neutral technicians of law, but moral agents with responsibilities to justice.” (David Luban, Lawyers and Justice: An Ethical Study, 1988). Para advokat itu bukanlah semata-mata tukang yang netral, mereka sejatinya adalah agen moral yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan.

Dalam konteks Indonesia, Kode Etik Advokat Indonesia menyebutkan bahwa:
“Advokat adalah profesi terhormat (Officium Nobile) yang dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi hukum, keadilan, dan kebenaran serta kejujuran dan tanggung jawab terhadap klien, pengadilan, dan masyarakat.” (Kode Etik Advokat Indonesia, Pasal 1). Ini sesuai sekali dengan prinsip-prinsip yang telah diteguhkan oleh Asosiasi Organisasi Advokat Internasional (International Bar Association/IBA) bahwa “A lawyer’s responsibility is not only to the client but also to the public interest and the integrity of the legal system.” (IBA, International Principles on Conduct for the Legal Profession, 2011). Lihatlah, bahkan para advokat sedunia pun sepakat bahwa para advokat bertanggung jawab tidak hanya pada kliennya tapi juga kepada kepentingan rakyat banyak dan integritas dari sistem hukum itu sendiri.

Selain itu, Satjipto Rahardjo dalam pemikiran hukum progresifnya pernah menekankan bahwa hukum harus berpihak pada rakyat, bukan pada teks semata. Dalam konteks ini, profesi advokat bukan hanya penafsir hukum, tetapi pelindung nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Kalau hukum adalah alat pembebasan, maka advokat adalah seumpama tukang becaknya. Membawa hukum menyusuri lorong-lorong kehidupan rakyat kecil yang sering tak terdengar.

Oleh karena itu, banyak kalangan ahli hukum dan advokat para founding fathers profesi ini menekankan bahwa status Officium Nobile bukanlah hak istimewa otomatis yang melekat pada seseorang hanya karena lulus ujian dan memegang kartu advokat. Ia adalah kehormatan yang harus diraih, dipertahankan, dan dibuktikan secara konsisten dalam praktik.

Sesungguhnya ada makna alternatif dari Officium Nobile yaitu “baktinya kaum bangsawan”. Semula profesi ini hanya dikerjakan oleh kaum bangsawan (nobile, atau noble), yaitu mereka yang bergelar lords, earls, marquis, dan sebagainya. Mengapa? Karena waktu itu hanya kaum ini yang bisa mendapatkan pendidikan hukum. Dan alasan kedua yang lebih penting karena para bangsawan Eropa ini adalah bourjuis yang menguasai alat produksi, maka mereka kaya dan pendapatannya sudah terjamin. Mereka rutin mendapatkan uang dari sewa tanah, bagi hasil panen, hasil tambang, keuntungan pabrik dan sebagainya. Akibatnya mereka tidak perlu lagi bayaran saat membela kliennya. Diucapin terima kasih saja oleh klien mereka, terutama jika klien itu rakyat miskin, sudah cukup. Yang mereka cari adalah kebahagiaan karena sudah membantu sesama dan tegaknya hukum yang sesuai hati nurani dan keyakinan kebenaran akan keadilan mereka. Itulah bakti para bangsawan itu kepada bangsa dan sesama warga negaranya.

Di zaman sekarang bagaimana? Hehe… boro-boro “nobile” atau bangsawan kaya, rata-rata kita para advokat sekarang ini bangkit justru berasal dari kalangan miskin. Atau paling kurang tak cukup kaya untuk bisa menggratiskan kliennya. Kadang bahkan belum selesai sidang, masuk tagihan cicilan mobil atau setoran BPR. Belum kelar satu perkara, sudah harus terima perkara lain demi biaya sekolah anak sudah menghadang. Itu realita, dan itu manusiawi.

Namun ada yang lebih parah, miskin hati. Bisa jadi beberapa advokat sudah kaya harta, namun toh bersikeras memungut bayaran tinggi. Aneh sekali, bagi sebagian advokat rating tinggi ini mengenakan tarif yang tinggi adalah kebanggaan. Dalam zaman ketika semua diukur dari prestise ketimbang prestasi, bayaran yang mahal adalah justru untuk meningkatkan status. Seakan mereka ingin berteriak ke seluruh dunia “saya bukan pengacara biasa, saya advokat status tinggi, hanya orang kaya yang bisa mendapatkan pelayanan saya”.

Fenomena ini bukan tidak disadari adanya. “Too many lawyers have treated the practice of law as a business, not a profession—much less a calling” tulis Deborah L. Rhode, seorang Pakar Etika Profesi Hukum di Stanford Law School (Deborah L. Rhode, In the Interests of Justice: Reforming the Legal Profession, 2000). Terlalu banyak pengacara yang memperlakukan praktik hukum mereka sebagai bisnis semata, bukan sebagai sebuah profesi, apalagi sebuah panggilan jiwa, keluh Professor L. Rhode.

Walau, sejarah Islam mengajarkan seorang miskin papa bernama Abizar al-Ghifari RA bersedia menjadi pembela orang lain tanpa dibayar. Bahkan tak terlintas bayaran dalam hati sahabat Rasulullah SAW yang mulia ini untuk meminta upah atau bayaran dari semua jerih payahnya, bahkan bersabung nyawa membela saudaranya sesama Muslim yang bermasalah hukum. Semuanya beliau lakukan demi Islam dan agama Allah. Padahal beliau kurang miskin apa? Sering hanya makan setelah tiga hari tiga malam kelaparan tak ada makanan singgah ke perut beliau yang bersahaja. Sungguh sahabat yang sangat dicintai Nabi SAW ini seorang nobile, orang terhormat dan teladan yang sesungguhnya.

Jangan lupa pula, sejarah kita di Indonesia juga mengenal banyak tokoh hukum yang hidup sederhana. Yap Thiam Hien salah satunya. Atau ada yang naik becak ke pengadilan, almarhum Munir atau Artidjo Alkostar tetap mengendarai sepeda motor tuanya dalam melakukan pekerjaannya membela rakyat. Ada yang membela buruh dan petani tanpa sepeser bayaran, bahkan ada yang ditangkap dan dipenjara karena membela hak rakyat kecil. Mereka ini tidak populer di media, tidak tampil di podcast hukum, tapi justru mereka inilah wajah sejati Officium Nobile.

Penulis kenal beberapa advokat muda di tanah indatu ini pernah membela petani dan masyarakat adat yang tanah yang milik adat mereka dirampas oleh pengusaha besar yang dibekingi negara. Mereka tak dibayar, bahkan harus patungan ongkos transportasi dengan warga. Tapi mereka menang di pengadilan, dan lebih dari itu, mereka menang di hati masyarakat. Rakyat yang bahagia patungan mengumpulkan uang sebagai tanda terima kasih. Uang itu serahkan di hadapan semua orang dalam sebuah syukuran. Para Officium Nobile muda ini menerimanya, tapi di hadapan semua orang pula lembaran-lembaran itu dimasukkan kembali ke dalam celengan masjid, tak ada satupun yang tersisa. Nama-nama mereka tak pernah masuk TV, tapi disebut-sebut dari mulut ke mulut. Itulah kehormatan yang tumbuh dari bawah, bukan dari panggung.

Sungguh, seandainya Geoffrey Robertson, sang ahli hukum internasional itu bertemu dengan para advokat  muda ini, ia akan mengangguk khidmat, atau bahkan membuka topinya sebagai tanda penghormatan akan kegigihan dan prinsip tetap loyal pada hukum dan keadilan ini. “Law is not just about rules; it is about conscience, fairness, and the courage to challenge injustice” kata Geoffrey Robertson (Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice, 1999). Hukum itu bukan melulu tentang peraturan-peraturan; Hukum adalah tentang kesadaran batin, keadilan sosial dan keberanian untuk menantang ketidakadilan.

Makna sejati Officium Nobile sebagai “baktinya kaum bangsawan” ini kurang terkenal dibanding dengan makna “pekerjaan terhormat” yang diyakini sebagian besar advokat. Padahal coba renungkan, seorang sarjana hukum hanya perlu lulus ujian dan mendapat lisensi advokat dan serta merta berhak menyandang status Officium Nobile. Bukankah rasanya tidak masuk akal dan logika bahwa seseorang yang mulanya biasa saja seketika itu langsung dianggap terhormat? Kalau hanya itu ukurannya, maka kehormatan jadi seperti cap stempel birokrasi belaka.

Kehormatan dan munculnya rasa hormat itu bukan dilekatkan, walau oleh negara. Kehormatan didapatkan dari pengakuan rakyat akan pekerjaan yang baik, menjunjung tinggi moral susila dan etika, bisa menjadi suri teladan dalam kata, sikap dan perbuatan, dan tentu saja: membawa manfaat untuk orang banyak.

Jujur saja, ada kalanya rasa muak naik di dada. Muak melihat sebagian dari kita, yang katanya advokat, justru menjerumuskan profesi ini ke dalam kehinaan. Bukan hanya menghalangi penegakan hukum, tapi juga tega berbohong, memanipulasi fakta, bahkan ikut bermain dalam korupsi dan menyogok aparat demi kemenangan. Bukan kemenangan keadilan, tapi kemenangan kekuasaan dan uang. Profesi ini jadi alat dagang, bukan lagi ladang pengabdian.

Tak kurang pula mereka yang haus sekali pada ketenaran dan perhatian publik. Demi ketenaran mereka melakukan tingkah-tingkah yang sensasional tanpa malu-malu. Mereka menjadikan profesi ini sekadar panggung, sibuk cari perhatian, cari sorotan media, drama queen atau eksibisionis yang menjadikan perkara hukum sebagai ajang tampil gaya. Sibuk berpose hanya untuk memuaskan dahaga mereka pada perhatian. Jika perlu setiap hari mereka ingin tampil di media massa. Sebutan “pengacara senior”, “pengacara kondang”, “pengacara kawakan”, adalah gelar-gelar yang sangat mereka rindukan untuk ditempelkan di belakang nama mereka.

Terkadang membuat kita sedikit cemas jangan-jangan kawan itu menderita Gangguan Kepribadian Histrionik (Histrionic Personality Disorder/HPD), yaitu sebuah gangguan kejiwaan kronis yang ditandai dengan pola perilaku mencari perhatian yang berlebihan dan ekspresi emosi yang dramatis.

Saat profesi ini mulai dipenuhi oleh mereka yang menjual integritas dan menjilat kepentingan, maka Officium Nobile berubah menjadi Officium Maleficum—pekerjaan yang mencelakakan masyarakat dan mencederai hukum.

Tapi kita masih punya pilihan. Selalu ada ruang untuk menjadi bagian dari pembela kebenaran dengan tetap berpegang teguh pada kehormatan dan martabat, sekecil apa pun suara dan langkah kita. Janji itu, masih bisa ditepati—kalau kita mau. Ingatlah “Lawyers shall at all times maintain the honor and dignity of their profession as essential agents of the administration of justice.” Para advokat haruslah senantiasa menjaga kehormatan dan martabat  profesi mereka sebagai tokoh esensial dari penyelenggaraan peradilan. Demikian tercantum di naskah resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Prinsip-prinsip Dasar Peran Para Advokat (United Nations Basic Principles on the Role of Lawyers (1990), Pasal 12.

Mungkin kita bisa bertanya ke diri sendiri, dengan jujur dan tanpa tameng: apakah pekerjaan ini masih layak disebut Officium Nobile? Apakah kita sudah cukup menjadi pembela, pelayan, dan suara bagi mereka yang lemah? Atau justru kita terlalu sibuk membela yang kuat demi kontrak besar dan status sosial?

Officium Nobile itu bukan gelar. Ia semacam janji diam-diam yang kita buat sendiri di hati, saat pertama kali memutuskan masuk ke dunia hukum. Dan janji itu hanya bisa ditepati dengan satu cara: dengan terus berada di sisi yang benar, meskipun tak nyaman, tak populer, dan kadang tak menguntungkan.

Karena pada akhirnya, kita sendiri yang harus menjawab: Masihkah kita pantas menyebut diri sebagai bagian dari profesi mulia, jika yang kita perjuangkan bukan lagi keadilan?


*Afridal Darmi, SH, LLM adalah advokat dan pekerja HAM. Direktur LBH Banda Aceh Periode 2003-2010 dan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Periode 2016-2021.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here