Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur definitif akan diselenggarakan serentak secara nasional pada bulan November 2024. Hal ini berdampak pada kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatan kepala daerah berakhir sebelum diselenggarakannya pemilihan serentak pada tahun 2024.
Aceh adalah salah satu daerah yang berdampak akibat penundaan pemilihan kepala daerah yang masa jabatan Gubernur Definitif berakhir pada 5 Juli 2022. Untuk mengisi kekosongan Gubernur Aceh definitif, Presiden RI mengangkat Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki (AM) sebagai Penjabat Gubernur Aceh pada tanggal 4 Juli 2022. Dimana pengangkatan ini dilakukan secara “brutal” dan ugal-ugalan. Mengingat proses pengangkatan PJ. Gubernur Aceh berlangsung secara senyap, maka kami menduga adanya upaya menghidupkan kembali Dwifungsi TNI secara “terselubung” dengan memanfaatkan celah kosong peraturan perundang-undangan. Oleh karena AM sudah dipersiapkan sejak awal saat masih menjadi TNI aktif untuk dijadikan Penjabat Gubernur Aceh.
Bagaimana tidak, pada tanggal 1 Juli 2022 Ahmad Marzuki (AM) mengundurkan diri dari TNI aktif, lalu pada tanggal 1 Juli 2022 AM langsung diangkat oleh Presiden RI dalam Jabatan Pimpinan Tinggi sebagai Staf Ahli Kemendagri. Dan pada tanggal 4 Juli 2022 AM diangkat oleh Presiden RI sebagai Penjabat Gubernur Aceh.
Pengangkatan AM dalam JPT Staf Ahli Mendagri dilakukan tanpa melalui proses secara terbuka dan kompetitif, sehingga bertentangan dengan Pasal 109 Ayat (2) UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Jo. Pasal 157 Ayat (1) PP No.11/ 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil diubah dengan PP No. 17/ 2020 (PP Manajemen PNS).
Selain cacat prosedur, juga mencederai prinsip – prinsip demokrasi dan HAM. Dimana pengisian Penjabat Kepala Daerah masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas sekaligus memberikan jaminan bagi hak asasi warga negara untuk mendapatkan informasi dan berperan aktif terhadap jalannya pemerintahan.
Pengangkatan AM membuktikan bahwa rezim Jokowi mengalami kemunduran dengan menarik kembali TNI ke ranah sipil dan militerisme masih mengakar di rezim ini. Situasi ini memberikan traumatik bagi sipil akan kepemimpinan militer yang penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, korupsi, dll sebagaimana zaman Orba. Padahal, secara histori TNI didesak kembali ke barak demi mewujudkan profesionalisme TNI dan menghidupkan kembali sendi – sendi demokrasi sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR 10/1998 dan TAP MPR 6/2000. Pelibatan kalangan TNI ke ranah sipil tidak terlepas dengan kebijakan lain, seperti pelemahan KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, UU Minerba dalam rangka mengamankan kebijakan ini untuk memuluskan perampasan ruang hidup rakyat. Terbukti, selama menjabat AM mulai melakukan evaluasi izin – izin pertambangan di Aceh dan melakukan pembiaran terhadap perampasan lahan petani untuk perkebunan sawit.
Secara umum, penunjukkan penjabat kepala daerah di bawah eksekutif merupakan upaya membajak demokrasi baik melalui pemilu langsung maupun penundaan. Situasi ini mirip dengan demokrasi terpimpin di era Orde Lama dimana semua urusan pemerintahan diserahkan ke tangan eksekutif. Kami khawatir, kedepan akan banyak suara – surat dari legislatif dan komponen lain yang menyerahkan semua urusan negara ke tangan eksekutif yaitu Jokowi.
Logikanya, ketika ada pesta demokrasi maka rakyat sebagai konstituen. Karena penunjukkan penjabat kepala daerah dilakukan oleh eksekutif tanpa kontrol legislatif dan rakyat, maka sesungguhnya konstituen dan operator dari penjabat tersebut adalah eksekutif yaitu Jokowi, bukan lagi rakyat. Ini melahirkan kebijakan satu komando di tangan Presiden, bukan hanya Aceh tapi termasuk daerah yang lain. Hal mana, konteks komando tetap di urusan bisnis, investasi dan sumber daya alam, bukan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka kami dari Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:
1) Presiden RI untuk memberhentikan Mayjen (Purn) Ahmad Marzuki dalam jabatannya sebagai Penjabat Gubernur Aceh dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) sebagai Staf Ahli Kemendagri RI;
2) Presiden RI dan Mendagri RI untuk menghentikan upaya – upaya penyelundupan dwi fungsi TNI maupun POLRI melalui pengisian kekosongan jabatan kepala daerah;
3) Segera menerbitkan peraturan pelaksana tentang pengisian kekosongan jabatan kepala daerah untuk menjamin proses penunjukkan penjabat kepala daerah berdasarkan prinsip – prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Jakarta, 15 Desember 2022
Narahubung:
LBH Banda Aceh (Syahrul/085398692548)
Pengurus YLBHI
PBHI Nasional