LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH) Aceh, menilai Negara Indonesia telah dikebiri oleh Pemilik Modal. Pasalnya sudah 53 tahun berlaku hukum agraria, penguasaan terhadap tanah selalu diwarnai oleh banyaknya kebijakan pertanahan yang kapitalistik.
Kebijakan-kebijakan kepitalistik tersebut tidak dapat dipungkiri telah melahirkan ketidakadilan yang harusnya ditanggung oleh Negara, yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh warga Negara.
“Banyak kebijakan Negara yang secara sengaja telah memiskin petani, yang pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan Negara,”, kata Koordinator LBH Aceh, Mustiqal Syah Putra, SH, siaran persnya, Selasa (24/9).
Dikatakan Mustiqal, kondisi objektif yang ada saat ini justru menunjukkan bahwa Negara telah menggunakan otoritas kekuasaannya untuk secara sengaja menjadikan sekelompok orang untuk dapat menguasai sumber daya agraria melebihi batas maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang.
Ia menyebutkan, tindakan pemerintah tersebut jelas tidak berpihak kepada warganya, terutama warga miskin dan rentan. Tindakan tersebut merupakan bentuk paling nyata tindakan kekerasan dan penindasan oleh Negara terhadap rakyat.
Mustiqal mengaku, dari berbagai kasus dan kondisi objektif saat ini, dapat menunjukkan bahwa arah kebijakan di bidang pertanahan dapat berimbas pada perlindungan dan pengakuan hak atas tanah masyarakat terutama kaum petani yang mengandalkan tanah sebagai basis modal utama dalam kehidupannya.
“Kebijakan telag cenderung berkiblat kepada pemilik modal, termasuk Negara sebagai objek, yang pada akhirnya menimbulkan konflik yang akan berimbas kepada ketidakpastian hak atas tanah,” akuinya.
Dalam konteks Aceh, Mustiqal mengatakan, Aceh saat ini sedang menatap masa depannya, harus diakui bahwa rakyat memiliki harapan besar dengan eskalasi perdamaian yang telah terbina dengan baik. Namun wajib kita sadari dan tidak menutup mata, jika sengketa pertanahan tidak terselesaikan, maka wajah perdamaian akan tercoreng. Tidak hanya itu, kepastian hukum pun akan semakin absurd.
“Dalam konteks ke-Aceh-an, penyelesaian konflik agrarian bukan hanya menyelesaikan perkara menurut hukum hukum positif saja, tapi harus ada upaya perombakan struktur penguasaan tanah dan sumberdaya alam lainnya yang timpang,” ungkapnya
Mustiqal mengungkapkan, realita saat ini, di Aceh masih banyak kasus sengketa dan konflik agraria di Aceh yang sudah lama terjadi namun hingga hari ini belum menemukan titik terang dalam rangka penyelesaian dengan hasil yang bermartabat dan terhormat. Seperti kasus antara masyarakat Aceh Timur dengan PT Bumi Flora terkait dengan izin HGU, kasus yang melibatkan PT. Ubertraco di Kabupaten Singkil, konflik tanah masyarakat Desa Sungai Iyu, kecamatan dengan PT. Parasawita di Kabupaten Aceh Tamiang serta konflik agraria antara TNI dan Polri menunjukkan bahwa sampai dengan hari ini pemerintah tidak mampu mengambil peran maksimal untuk perlindungan kedaulatan rakyat atas tanah.
Dalam hal ini, LBH Aceh mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mengeluarkan produk hukum terkait dengan pembagian kewenangan pemberian dan pengelolaan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Bab XXIX Pasal 213 dan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan kepada Pemerintah Aceh serta Pemerintah Kab/Kota pihaknya mendesak untuk segera mengupayakan penyelesaian berbagai kasus sengketa dan konflik agraria yang hingga saat ini belum terselesaikan dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
SUMBER : www.diliputnews.com