Konflik pertanahan yang terjadi antara PT. Rapala dengan masyarakat 4 (empat) desa di dua kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang masih belum ditemukan titik terang. Ditetapkannya 11 petani yang memperjuangkan haknya atas tanah sebagai tersangka dan sempat ditahan Polda Aceh sejak 15 hingga 25 Februari 2015 yang lalu membuktikan bahwa penyelesaian konflik pertanahan di negeri ini belum berpihak kepada rakyat miskin dan kebijakan di bidang pertanahan masih saja berkiblat pada kepentingan pemilik modal. Walaupun ke 11 petani tersebut telah ditangguhkan penahanannya, namun proses hukum dalam aspek pidana akan terus berjalan.
Hal ini yang patut disayangkan, warga miskin yang mempertahankan haknya atas tanah justru diproses secara hukum dengan dugaan melakukan serangkaian tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHPidana dan atau 160 KUHPidana dan atau Pasal 335 KUPidana Pasal 406 KUHPidana dan atau 170 Jo 55-56 KUHPidana dan atau Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Kasus seperti ini bukan hanya dialami oleh masyarakat Aceh Tamiang saja, namun masih banyak konflik agraria yang terjadi di Aceh belum terselesaikan sampai saat ini seperti halnya kasus PT. Bumi Flora yang bersengketa dengan masyarakat di lima kecamatan di Aceh Timur, yang sampai saat ini masih terkatung-katung; kasus masyarakat Desa Padang Seurahet di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat versus Pemkab Aceh Barat, kasus PT Ubertraco/Nafasindo dengan masyarakat di Singkil, dan masih banyak kasus lainnya yang terjadi di Aceh.
Setiap permasalahan pertanahan yang muncul harus diupayakan untuk ditangani segera agar tidak meluas menjadi masalah yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang berdampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Dalam kerangka inilah kebijakan pertanahan dengan tujuan penanganan sengketa/konflik pertanahan harus dilakukan secara sistematis dan terpadu, diantaranya dengan cara mengelompokkan permasalahan menurut tipologinya dan kemudian dilakukan pengkajian untuk mencari akar masalahnya.
Selain itu, Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan yang selama ini telah dibentuk baik di level Propinsi ataupun Kabupaten/Kota ternyata tidak mampu menyelesaiakan persoalan yang ada. Tim ini terkesan hanya mampu sekedar mendengarkan dan mencatat kasus yang ada tanpa membuahkan hasil yang baik dan berkeadilan. Imbasnya adalah mandegnya penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang mengakibatkan munculnya kiminalisasi pada petani yang memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan haknya atas tanah, seperti yang dialami oleh 11 petani di Kabupaten Aceh Tamiang.
LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum masyarakat 4 desa di Kabupaten Aceh Tamiang dalam konflik pertanahan yang berkonflik dengan PT Rapala mendesak Menteri Agraria untuk segera membentuk Komisi Independen Penyelesaian Sengketa/Konflik Agraria. Hal ini didasari pada kondisi objektif maraknya sengketa/konflik agraria yang terjadi di berbagai titik di Aceh serta lemahnya peranan dari Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan yang selama ini telah terbentuk, baik di level Propinsi maupun di level Kabupaten/Kota. Dengan adanya komisi independen yang terbebas dari kepentingan seseorang, institusi dan kelompok manapun, besar peluang konflik agraria yang terjadi di negeri ini khususnya di Aceh dapat diselesaikan sesuai dengan aturan hukum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan perlindungan hak rakyat atas tanah; dan mendorong upaya perbaikan serta perubahan sistem birokrasi pertanahan, karena sistem birokrasi pertanahan yang ada selama ini masih cenderung membuka peluang munculnya sengketa/konflik pertanahan.
Di sisi lain, evaluasi perizinan di bidang pertanahan juga menjadi sangat penting untuk dilakukan, terutama perizinan terhadap HGU bagi perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka besar potensi konflik pertanahan akan terus terjadi dan masyarakat kembali menjadi korban; baik secara materi, fisik, psikis bahkan kriminalisasi.
TTD
Banda Aceh, 3 Maret 2015
Yayasan LBH Indonesia-LBH Banda Aceh
Tim Kuasa Hukum Masyarakat 4 Desa di Kabupaten Aceh Tamiang versus PT. Rapala
Chandra Darusman S, S.H
Koordinator Tim