Sengkarut Tanah Warga Meunasah Kulam dengan Koramil 05/Mesjid Raya

0
2271

“Nanggroe ka hana konflik le. Keupeu dijak peugah kamoe pemberontak teuma?” — “Ini negara sudah aman. Sudah tidak ada lagi perang. Kenapa pula mereka sebut-sebut kami pemberontak?”

Itu adalah ungkapan seorang warga di antara 40-an masyarakat Meunasah Kulam, Krueng Raya, di hadapan anggota DPRK Aceh Besar, Selasa, 1 Oktober 2019. Ungkapan tersebut diutarakannya dalam audiensi dengan para wakil rakyat di gedung dewan tentang permasalahan sengketa tanah di kampungnya yang diklaim secara sepihak milik Koramil 05/Mesjid Raya.

Secara historis, Meunasah Kulam adalah satu kampung lama. Masyarakat hidup di sana sejak Indonesia masih belum ada, dan penguasaan tanah di sana oleh warga setempat diperoleh melalui proses jual-beli antara masyarakat dengan seorang Ulee Balang, Teuku Muhammad Usman. Hal ini dikarenakan sejak penjajah kolonial Belanda angkat kaki dari daerah Krueng Raya pada tahun 1930-an, semua aset-aset kolonial Belanda diserahkan dan dikuasai oleh Teuku Muhammad Usman termasuk sebuah rumah bekas peninggalan Belanda yang saat ini berada tepat di samping kantor Koramil 05/Mesjid Raya.

Proses jual-beli tanah di Desa Meunasah Kulam yang merupakan pusat kota Kemukiman Krueng Raya berlangsung sejak tahun 1953 hingga 1963 dan dilakukan secara resmi oleh masyarakat. Ini dibuktikan dengan surat dan akta jual-beli yang dimiliki oleh masyarakat. Menurut pengakuan beberapa orang tua Desa Meunasah Kulam, sejak tahun 50-an, kantor Koramil 05/Mesjid Raya tidak berlokasi di desa mereka, melainkan di Desa Keudee yang terletak di sebelah utara Desa Meunasah Kulam.

Kemudian, pada tahun 1972 masyarakat dipaksa dan diintimidasi oleh militer untuk menandatangani sebuah surat pengakuan yang dibuat oleh Koramil, bahwa tanah yang sekarang masih dalam sengketa adalah milik Koramil 05/Mesjid Raya. Masyarakat bersikeras mempertahankan tanah mereka, dan persengketaan pun terjadi dan berlanjut hingga sekarang. Dalam perjalanannya warga yang tidak mau menandatangani surat yang dikeluarkan oleh alat negara tersebut mendapat intimidasi dan disebut sebagai pemberontak oleh aparat TNI Koramil 05/Mesjid Raya–sebagaimana dialami dan diungkapkan seorang warga di hadapan Anggota DPRK Aceh Besar. Hal serupa juga dialami oleh Kurniawan, ST., Kepala Desa Meunasah Kulam yang secara terus-menerus dipaksa untuk menandatangani sporadik tanah yang dibuat oleh pihak TNI.

Dalam proses pendampingannya, LBH Banda Aceh sejak 23 Juli 2019 telah melakukan beberapa upaya advokasi terhadap konflik tanah antara masyarakat Desa Meunasah Kulam dengan Koramil 05/Mesjid Raya. Upaya-upaya awal yang dilakukan, di antaranya; melaporkan tindakan-tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat TNI kepada Komnas HAM Perwakilan Aceh dan kepada Kantor Staf Presiden di Jakarta. Bersama masyarakat Meunasah Kulam, LBH Banda Aceh juga telah melaporkan permasalahan konflik tanah ini ke Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar dan Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar.

Dan pada Selasa, 1 Oktober itu, LBH Banda Aceh juga turut serta mendampingi warga melakukan audiensi dengan wakil mereka di gedung DPRK Aceh Besar, Jantho. Di samping audiensi yang melahirkan komitmen dari DPRK Aceh Besar untuk membentuk Pansus penyelesaian konflik tanah tersebut, pada kesempatan itu, masyarakat Meunasah Kulam juga menyerahkan berkas administrasi kepemilikan tanah masyarakat kepada Pimpinan DPRK Aceh Besar.

Lihat infografik kasus di sini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here