DPRA Diminta Bahas Raqan Pertanahan

0
796
Ratusan warga empat desa, Paya Rehat, Tengku Tingi, Tanjong lipat satu dan Tanjung lipat Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang melakukan aksi demo menuntut HGU PT Rapala dicabut
Ratusan warga empat desa, Paya Rehat, Tengku Tingi, Tanjong lipat satu dan Tanjung lipat Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang melakukan aksi demo menuntut HGU PT Rapala dicabut

BANDA ACEH – Warga enam kabupaten di Aceh yang selama ini terlibat konflik/sengketa lahan dengan perusahaan perkebunan dan lembaga negara di Aceh, meminta DPRA memprioritaskan pembahasan Rancangan Qanun (Raqan) Pertanahan, sehingga produk Qanun Pertanahan Aceh itu diharapkan bisa menjadi referensi ke depan.

Perwakilan warga enam kabupaten itu menyampaikan hal ini saat audiensi dengan Anggota DPRA di ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRA, Selasa (9/5). Pertemuan itu difasilitasi LBH Banda Aceh serta ikut perwakilan beberapa LSM lainnya, seperti Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) serta Komunitas Kanot Bu.

Mereka yang beraudiensi ini perwakilan Aceh Tamiang yang berkonflik dengan PT Rapala, warga Krueng Simpo, Kecamatan Juli, Bireuen berkonflik dengan PT Syaukat Sejahtera, warga Lamtamot, Aceh Besar berkonflik dengan pengelola Tahura Pocut Meurah Intan, warga Cot Me Nagan Raya berkonflik dengan PT Fajar Baizury, warga Babahrot, Aceh Barat Daya berkonflik dengan PT Dua Perkasa Lestari, dan warga Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara berkonflik dengan pengelola Taman Nasional Gunung Leuser. “Semua kasus itu hingga kini belum ada upaya penyelesaian dari pemerintah,” kata Direktur LBH Banda Aceh, Mustiqal Syah Putra SH dalam siaran pers kepada Serambi kemarin.

Menurut Mustiqal, dalam pertemuan itu, LBH Banda Aceh juga menyerahkan draf Raqan Pertanahan Aceh kepada Ketua Komisi I Ermiadi dan Ketua Badan Legislasi (Banleg), Abdullah Saleh. Direktur LBH Banda Aceh, Mustiqal Syah Putra SH mengatakan selain perwakilan masyarakat dari enam kabupaten itu, juga hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan masyarakat Aceh Singkil yang memiliki latar belakang konflik lahan dengan PT Ubertraco/Nafasindo, perusahaan perkebunan asal Malaysia.

Namun, kasus di Aceh Singkil itu telah selesai tahun lalu setelah masyarakat mendapatkan kembali lahannya seluas 347 hektare yang sebelumnya dikuasai perusahaan.

Rusli Jabat, perwakilan masyarakat Aceh Singkil, mengharapkan qanun yang akan disusun DPRA harus pro rakyat kecil. Selain itu, ia juga mengharapkan agar batas waktu izin Hak Guna Usaha (HGU) harus dievaluasi. “Jangan sampai 25 tahun tanah dipegang sama perusahaan. Karena 25 tahun itu waktu yang tidak sebentar dan semuanya akan berubah dalam waktu selama itu,” ujar Mustiqal.

Fery Suhandar, perwakilan warga Aceh Tamiang yang selama ini berkonflik dengan PT Rapala, perusahaan perkebunan asal Sumatera Utara meminta DPRA segera membahas dan mengesahkan Qanun Pertanahan di tahun 2017 ini. Menurutnya qanun itu penting sebagai dasar hukum di tengah gempuran persoalan tanah antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang terjadi selama ini di Aceh. “Jangan dibiarkan masalah ini berlarut-larut. Ini harus diprioritaskan untuk mengakhiri penderitaan rakyat kecil yang selama ini tanahnya dikuasai perusahaan,” ujarnya.

Menanggapi permintaan perwakilan masyarakat enam kabupaten itu, Ketua Komisi I DPRA, Ermiadi mengatakan saat ini Raqan Pertanahan Aceh tidak masuk ke dalam Program Legislasi Aceh (Prolega) 2017. Namun, saat ini sudah di DPRA dengan status kumulatif terbuka. Artinya bisa dibahas kapan saja oleh DPRA dan Pemerintah Aceh jika dinilai mendesak dan sangat dibutuhkan. “Komisi I akan berusaha agar rancangan qanun ini bisa dibahas tahun 2017 ini. Bila nanti jadi dibahas, pasti kami akan membahasnya dengan jajaran kabinet Pemerintah Aceh yang baru,” ujarnya.

Ia juga meminta kepada LBH Banda Aceh dan masyarakat korban konflik dengan perusahaan perkebunan, jika memiliki data dan bahan baru agar bisa menyerahkan ke pihak Komisi I. Sementara itu Ketua Banleg DPRA, Abdullah Saleh, mengatakan qanun ini nantinya harus dapat menjadi solusi dari konflik lahan yang selama ini terjadi di Aceh. “Kita akan prioritaskan,” ungkapnya.

Dia mengatakan saat ini persoalan tanah di Aceh sangat rumit. Selain konflik masyarakat dengan perusahaan, konflik regulasi juga terjadi antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat terkait pengelolaan pertanahan. Dia mengatakan Banleg akan mendorong agar raqan itu dapat dibahas tahun ini.

Copyright by : http://aceh.tribunnews.com


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here