Dalam seminggu terakhir, tepatnya 2 hingga 6 Juli 2018, bertempat di Polres Aceh Tamiang, berlangsung pemeriksaan terhadap 25 (dua puluh lima) orang warga Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang. Mereka diperiksa dalam statusnya sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana menguasai lahan atau rumah tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 5 Perppu Nomor 51 Tahun 1960. Sebelumnya, pada tanggal 5 dan 6 Juni 2018, mereka diperiksa sebagai Saksi dalam dugaan tindak pidana yang sama. Dalam proses pemeriksaan –baik dalam status hukum sebagai saksi maupun tersangka– warga didampingi oleh tim kuasa hukum dari LBH Banda Aceh.
Kondisi ini merupakan imbas lebih lanjut dari persoalan konflik pertanahan yang terjadi antara warga Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang dan PT. Rapala yang telah berlangsung cukup lama. Dalam perkembangannya, sejak 8 Februari 2018 yang lalu sudah ada informasi bahwasanya PT. Rapala akan melakukan pengusiran warga dengan alasan desa ini merupakan bagian dari objek HGU perusahaan, dan perusahaan meminta kepolisian untuk membantu perusahaan dalam pengusiran terhadap warga.
Untuk diketahui, desa ini berdiri sejak 1953 dan merupakan desa definitif serta terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan terdata pula dalam SK Gubernur Aceh. Desa Perkebunan Sungai Iyu Kecamatan Bendahara adalah salah satu desa yang terdaftar, legal, dan diakui eksistensinya secara hukum. Keberadaan desa tersebut telah ada jauh sebelum diterbitkannya HGU bagia PT. Parasawita untuk pertama kalinya pada tahun 1973 dan perpanjangan di tahun 1990 yang kemudian beralih pada PT. Rapala pada tahun 2013.
Proses pemeriksaan di Mapolres Aceh Tamiang, Senin 02 Juli 2018
Dalam rangka mendorong proses penyelesaian permasalahan ini, pada bulan Oktober 2017, LBH Banda Aceh bersama perwakilan masyarakat korban konflik telah melakukan komplain nasional terkait permasalahan ini. Komplain nasional tersebut dilakukan dengan cara menyampaikan pengaduan secara resmi dan langsung kepada beberapa institusi: diantaranya Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dan Kantor Staff Kepresidenan Republik Indonesia.
LBH Banda Aceh menilai bahwasanya tindakan Kepolisian Resor Aceh Tamiang dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan dan penetapan status tersangka terhadap 25 masyarakat Desa Perkebunan Sungai Iyu terkait dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 5 Perppu Nomor 51 Tahun 1960 tidak dapat dibenarkan menurut hukum, dikarenakan aturan hukum yang digunakan bukanlah aturan yang melegitimasi kewenangan penyidik Kepolisian. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 murni kewenangan Menteri Agraria dalam menyelesaikan permasalahan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Hal tersebut selaras dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) Perpu Nomor 51 Tahun 1960 yang mengatur bahwa penyelesaian permasalahan mengenai pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya diselesaikan menurut ketentuan, mekanisme dan prosedur yang ditetapkan oleh Menteri Agraria, bukan melalui mekanisme hukum acara pidana yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
Dalam ayat (2) ditegaskan bahwa Menteri Agraria memiliki kewenangan penuh dalam melakukan berbagai tindakan untuk menyelesaikannya pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Artinya, Perpu Nomor 51 tahun 1960 mengatur mengenai pemberian kewenangan hanya kepada Menteri Agraria dalam melakukan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan permasalahan pemakaian tanah tersebut. Apabila ada instansi lain yang melakukan tindakan tersebut, harus atas persetujuan dan ditunjuk langsung oleh Menteri Agraria. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3).
Berdasarkan hal tersebut, LBH Banda Aceh menyayangkan tindakan kepolisian yang melakukan pemanggilan terhadap warga Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang sebagai saksi dan melakukan penetapan status Tersangka terhadap 25 warga. Hal ini didasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 51 Tahun 1960 yang merupakan pengaturan mengenai kompetensi absolut atau kewenangan mutlak dari Menteri Agraria dan tidak dibenarkan adanya campur tangan pihak lain, termasuk Kepolisian. Terlebih lagi, masyarakat Desa Perkebunan Sungai Iyu telah melaporkan permasalahan tersebut ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia, dan hingga kini proses penyelesaiannya masih berlangsung. Maka sudah seharusnya setiap pihak menghargai dan menghormati proses penyeelsaian yang hingga saat ini masih berjalan. Oleh karena itu, tindakan Kepolisian dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan baik sebagai saksi maupun tersangka terhadap masyarakat Desa Perkebunan Sungai Iyu dalam dugaan tindak pidana menguasai lahan atau rumah tanpa hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 5 Perppu Nomor 51 Tahun 1960 tidak diperkenankan dalam hukum, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan yang patut dianggap bersifat intimidatif serta merupakan wujud kriminalisasi terhadap warga yang masih memperjuangkan tanahnya.
Selain itu, LBH Banda Aceh mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh untuk dapat sesegera mungkin melakukan berbagai tindakan yang dianggap penting dan patut guna mendorong penyelesaian konflik tersebut secara bermartabat dan mengedepankan kepentingan warga.
Banda Aceh, 6 Juli 2018
Kepala Operasional
ttd
Chandra Darusman S, S.H., M.H.