BANDA ACEH – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mendesak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mencabut Surat Keputusan (SK) Tim Pusat Mediasi Aceh.
Direktur LBH Banda Aceh, Mustiqal Syahputra menilai SK itu sangat rancu, pasalnya tim tersebut sudah mengambil alih tugas mediator, kemudian nama-nama yang di-SK-kan bukanlah mediator yang telah mendapatkan sertifikat.
“Padahal dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh disebutkan bahwa mediator adalah pihak ketiga dan mediator bersertifikat,” sebutnya.
Menurut Mustiqal, seharusnya pemerintah lebih mendorong peran serta penguatan mediatornya, bukan malah membentuk kelembagaan baru seperti ini.
“Mediator itu sebuah profesi, sama halnya dengan advokad, dalam kontek lahirnya Pergub ini, suduah mengambil alih fungsi mediator oleh pemerintah, maka dari itu SK ini ada kerancuan,” kata Mustiqal Syahputra kepada AJNN, Senin (11/12).
Kata Mustiqal, berangkat dari kebutuhan persoalan di Aceh, harusnya yang didorong itu negara hadir menfasilitasi tenaga mediator, bukan malah mengambil alih tugas mediator dengan membentuk lembaga pusat mediasi yang kemudian didalamnya juga bukan orang-orang yang telah mendapat sertifikat mediator.
Mustiqal menyebutkan, mediator itu orang yang sudah mengikuti proses dari lembaga organisasi mediator yang kemudian bersetifikat.
“Pertanyaannya, kalau mereka menjalankan fungsi mediasi kemudian kasus tersebut berhadapan dengan negara bagaimana diselesaikan, karena jelas bahwa mediator itu pihak yang netral dalam penyelesaian sengketa dan tetap menjaga independensi ketika kasusnya berhadapan dengan negara. Jika memang ada kebutuhan menjawab persoalan yang ada, maka harusnya yang didorog itu penambahan tenaga mediatornya bukan membentuk lembaga,” katanya.
Kata dia, sebagaimana diketahui tim yang di-SK-kan Gubernur adalah anggota DPRA, dimana tugas anggota dewan yang seharusnya mengawasi tim sesuai tupoksi mereka.
“Tapi ini malah anggota dewan yang masuk dalam tim, bagaimana mereka mengawasi kinerja dan APBA yang digunakan tim,” katanya.
Seharusnya, menurut Mustiqal, Pemerintah hanya perlu memperkuat orang sebagai mediator saja, misalnya masuk dalam Dinas yang sudah membentuk unit penyelesain konflik, bukan membentuk lembaga baru.
“Menurut saya SK ini dicabut saja, tidak perlu dibuat tim mediasi Aceh, cukup memperkuat saja,” tuturnya.
Dirinya mencontohkan, ada kebutuhkan penyelesaian sengketa peradilan adat, maka orang yang di Majelis Adat Aceh (MAA) dipekuat dengan menambah jumlah mediatornya dengan proses sertifikasi.
LBH mempertanyakan urgensinya lahirnya tim mediasi Aceh ini, kalau dilihat kondisi aturan, cukup banyak aturan yang sudah mengatur pelaksanaan mediasi sebagai wujud penyelesaian perosalan.
Semestinya, peran yang mesti dilakukan pemerintah adalah memperkuat profesi mediatornya dalam hal ini juga memperbanyak jumlah dan meningkakan kapasitas terhadap orang-orang yang mempunyai kapasitas sebagai mediator. bukan mengambil alih tugas mediator dalam wujud bentuk tim pusat mediasi Aceh.
Jika seperti ini, lanjut Mustiqal, akan terkesan semua perkara dipegang oleh pemerintah, dan mereka jadi mediatornya. Bila sasaran kerjanya itu adalah menyelesaikan kasus antara satu orang warga dengan yang lain kemungkinan tetap bisa dilakukan, tetapi bagaimana bila perkara itu melibatkan antara warga dengan pemerintah apakah mereka akan menjadi mediator bagi dirinya sendiri. Ini sangat tidak mungkin.
“Tidak seharusnya semua orang dapat dibenarkan menampilkan dirinya sebagai mediator, karena untuk menjadi mediator ada rangkaian tahapan proses yang dilalui, tidak serta merta orang dapat SK sudah bisa dikatakan langsung sebagai mediator,” jelasnya.
Maka, lanjutnya, jika seperti ini, Pemerintah Aceh memposisikan diri sebagai pihak yang menyelenggarakan layanan bantuan hukum atau subjek dari penyelenggaraan bantuan layanan hukum, hal ini terlihat dari tugas-tugas yang tersebut dalam SK dan Pergub itu.
“Dalam pergub itu dasar hukum yang digunakan adalah UU bantuan hukum, sementara dalam UU bantuan hukum pemerintah bukan pemberi layanan bantuan hukum. Kacau ini sebenarnya kalau pemerintah mengambil alih dan memposisikan diri sebagai sabjek bantuan hukum,” pungkas Mustiqal.
http://www.ajnn.net