Tanggapan dari Pusat Mediasi Aceh terhadap desakan elemen masyarakat sipil yang mendesak pembubaran Pusat Mediasi Aceh sebagaimana dimuat dalam salah satu media online di Aceh dengan judul “Elemen Sipil Tim Pusat Mediasi Dibubarkan, Ketua Tim : Suruh Ketemu Saya” yang terbit pada tanggal 15 desember 2017 yang lalu, merupakan tanggapan yang sangat reaksioner tanpa didukung dengan adanya penjelasan terkait beberapa hal yang menjadi persoalan dalam pembentukan Pusat Mediasi itu.
Untuk diketahui, sebelum terbitnya Pergub Nomor 68 Tahun 2017 tentang Pembentukan Pusat Mediasi Aceh, telah terdapat produk regulasi dan kelembagaan yang telah dibentuk dan memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi. Misalnya, Pergub Nomor 10 Tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Tenurial dalam Kawasan Hutan, dan Peraturan Gubernur 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat. Dalam konteks kelembagaan, juga terdapat lembaga yang dibentuk untuk mendorong proses penyelesaian konflik/sengketa yang terjadi dalam masyarakat, misalnya Tim Fasilitasi Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan, yang dibentuk pada periode pertama Irwandi menjadi Gubernur. Memang, tak dipungkiri terdapat persoalan-persoalan terkait efektifitas kinerja lembaga tersebut, namun sudah seharusnya Pemerintah memperkuat lembaga yang sudah ada, bukan justru membentuk lembaga baru yang menjalankan tugas dan fungsi yang sama.
Hal lain yang juga penting dipahami adalah penggunaan UU Bantuan Hukum dan norma hukum turunannya sebagai salah satu konsideran yuridis dalam Pergub ini. Hal ini menjadi penting karena dalam UU Bantuan Hukum, tidak ada satupun norma yang dapat menjadi basis yuridis bagi Pemerintah untuk memposisikan diri sebagai pemberi layanan hukum. Yang menjadi subjek pemberi layanan bantuan hukum adalah organisasi bantuan hukum dan ormas yang telah diverifikasi oleh Kemenkumham RI. Pertanyaannya, apa relevansi UU Bantuan Hukum dan norma hukum pelaksanaannya dengan Pergub Pusat Mediasi Aceh ini? Hal ini seharusnya dijawab secara rasional oleh Tim Pusat Mediasi Aceh.
Hal mendasar lain adalah kompetensi dan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi mediator. Mediasi salah satu mekanisme hukum dari alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pelaksanaannya, mediasi dilakukan oleh Mediator yang bersertifikat. Kembali muncul pertanyaan yang mendasar, apakah komposisi Tim Pusat Mediasi Aceh yang dibentuk itu telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ?
Catatan penting yang harus dipahami bahwasanya LBH Banda Aceh dan elemen masyarakat sipil dalam hal ini ingin mengingatkan Pemerintah Aceh agar senantiasa menggunakan kewenangannya dalam menerbitkan produk regulasi dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang sesuai dan tidak menimbulkan permasalahan hukum, baik dalam aspek landasan yuridis maupun dalam ranah implementasi di kemudian hari.
Banda Aceh, 18 Desember 2017
LBH Banda Aceh,
ttd
Mustiqal Syahputra, S.H
Masyarakat Transparansi Aceh
ttd
Alfian
Koalisi NGO- HAM Aceh
ttd
Zulfikar Muhammad
Narahubung : Mustiqal Syahputra (085260192443)