Sejak tahun 1995, LBH Banda Aceh –sebagai bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang telah berkiprah dalam bidang bantuan hukum dan HAM selama puluhan tahun– mewarisi paradigma dan visi misi Bantuan Hukum Struktural (BHS). Sesuai dengan paradigma dan visi misi BHS, LBH Banda Aceh terus mengabdikan diri dalam memberikan layanan bantuan hukum dan penegakan prinsip serta implementasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Dalam setiap penanganan kasus, LBH Banda Aceh selalu melihat dari perspektif penegakan Hak Asasi Manusia sebagai pondasi dasar dalam menyusun langkah strategi advokasi. Dalam kondisi apapun, pembelaan terhadap penegakan hukum dan HAM selalu menjadi karakter khas LBH secara kelembagaan. Bahkan dalam kondisi darurat sekalipun, LBH masih tetap memberikan pelayanan bantuan hukum dan HAM bagi masyarakat miskin dan marginal yang membutuhkannya.
Mengacu pada kondisi objektif yang ada dan berdasarkan pada pengalaman konkrit, hingga hari ini banyak warga negara yang berpotensi dan telah menjadi korban dari tindakan negara yang secara langsung atau tidak telah melahirkan ketidakadilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak warga negara yang tidak paham dan tidak memiliki pengetahuan serta tidak mendapatkan akses informasi tentang proses hukum yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan; baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Selain itu, gagalnya negara dalam pemenuhan, penghormatan, penjaminan dan perlindungan HAM bagi seluruh warga negara menyebabkan celah ketidakadilan semakin terbuka.
Pelanggaran HAM masih saja terus terjadi hingga tahun 2017 ini. Dalam dimensi hak ekosob, kasus pelanggaran hak atas tanah, kasus perburuhan dan pengabaian atas hak kesehatan masih saja terus mengemuka. Kasus konflik agraria yang tersebar di sejumlah wilayah di Aceh masih tetap saja langgeng dan belum terselesaikan, diantaranya kasus masyarakat Babahrot, Aceh Barat Daya yang berkonflik dengan PT Dua Perkasa Lestari; perkara konflik masyarakat Cot Mee, Nagan Raya yang berkonflik dengan PT Fajar Baizury and Brothers; konflik masyarakat Krueng Simpo, Kabupaten Bireuen dengan PT Syaukath Sejahtera; serta kasus masyarakat Gampong Tengku Tinggi, Tanjung Lipat I, Tanjung Lipat II, Perkebunan Sungai Iyu dan Paya Rahat, Kabupaten Aceh Tamiang yang berkonflik dengan PT Rapala. Ironisnya, kasus-kasus tersebut telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama dan berujung pada kriminalisasi dengan dalih penegakan hukum.
Pengingkaran terhadap hak buruh juga masih tetap muncul dan mewarnai dinamika hak asasi manusia. Sebagai contoh, buruh PT. Pasha Jaya Group Cabang Meulaboh dan 3 (tiga) karyawan perempuan PT. Arta Boga Cemerlang di Aceh Barat di PHK secara sepihak oleh perusahaan.
Tak jauh berbeda, catatan hitam juga muncul dalam hal pemenuhan hak atas kesehatan. Belum hilang ingatan publik terhadap kasus Sutiah yang menjadi korban malpraktik di RS Arun Lhokseumawe, publik kembali dikejutkan dengan kasus meninggalnya bayi berusi 1,5 tahun di Aceh Barat akibat tidak mendapatkan pelayanan di instansi kesehatan karena pekerja medis dan ambulans tidak berada di puskesmas. Adapula perkara meninggalnya bayi saat dilahirkan karena telat mendapatkan penanganan medis. Selain itu, ada pasien yang ditolak di RSU Cut Nyak Dhien Meulaboh akibat dari persoalan administratif.
Pemenuhan hak asasi dalam ranah hak sipil politik sepanjang tahun 2017 ini juga tidak dapat disebut cukup baik. Pelanggaran hak sipil politik oleh para pelaku baik state organ maupun non state organ masih terus terjadi dalam berbagai bentuk dan di berbagai wilayah. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwasanya negara (melalui aparatnya) masih saja memunculkan penafsiran lain terhadap hak-hak asasi dan kebebasan yang fundamental yang diatur dalam kovenan dan aturan perundang-undangan. Kebebasan berekspresi yang pada hakikatnya merupakan hak konstitusional warga negara dikekang dengan penafsiran UU ITE yang sangat formalistik dan kaku. Hal ini sebagaimana terlihat dalam kasus yang terjadi di Aceh Barat Daya.
Selain itu, tindakan penangkapan dan penahanan dengan dalih “penegakan hukum” yang berimbas pada pengingkaran hak atas kebebasan juga masih saja terjadi. Kasus penangkapan 6 nelayan kecil di Aceh Barat pada 28 Maret 2017 karena menggunakan alat tangkap yang dilarang oleh aparat penegak hukum dengan mengabaikan Surat Edaran Kementrian Kelautan dan Perikanan RI Nomor B.1/SJ/PL.610/I/2017 tentang Pendampingan Penggantian Alat Penangkapan Ikan yang dilarang beroperasi di wilayah Pengelolaan Perikanan, yang memandatkan bahwasanya sejak Januari hingga Juni 2017 pemerintah wajib melakukan pembinaan secara konpherensif terhadap nelayan kecil dan tidak mengedepankan proses pemidanaan.
Sepanjang tahun 2017, LBH Banda Aceh menangani 60 kasus yang terdiri dari : 13 kasus yang berdimensi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), 6 kasus yang berdimensi hak sipil dan politik (sipol), 5 kasus yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak, kasus keluarga sebanyak 8 kasus dan 28 kasus khusus.
Dalam konteks dimensi hak ekosob, LBH Banda Aceh menangani 13 kasus, yang didominasi oleh kasus pelanggaran hak atas tanah sebanyak 9 kasus, kasus perburuhan sebanyak 2 kasus, malpraktik 1 kasus, dan hak atas ekonomi 1 kasus. Sedangkan untuk 6 kasus yang berdimensi sipil dan politik terdiri dari 2 kasus pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, pelanggaran terhadap hak atas perlindungan hukum 2 kasus, dan pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan pribadi 2 kasus.
Dari sisi aktor pelaku, kasus-kasus pelanggaran hak ekosob didominasi oleh perusahaan sebanyak 8 kasus, Pemerintah Aceh 3 kasus, rumah sakit 1 kasus, dan aparat desa 1 kasus. Sedangkan untuk kasus yang masuk dalam kategori pelanggaran hak sipil dan politik, pelakunya adalah Polisi dan Waliyatul Hisbah.
Prinsip Bantuan Hukum Struktural yang dipedomani oleh LBH Banda Aceh tidak hanya diwujudkan dalam pelaksanaan layanan bantuan hukum semata, namun juga dilakukan dalam bentuk pendidikan hukum kritis sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman publik terkait hukum dan HAM, serta mendorong lahirnya kebijakan yang menjamin pemenuhan dan perlindungan hak asasi bagi seluruh warga negara. Salah satu agenda kerja yang dilakukan oleh LBH Banda Aceh dalam melakukan advokasi kebijakan adalah menginisiasi perumusan Rancangan Qanun Pertanahan Aceh yang telah diserahkan kepada DPRA pada November 2016 yang lalu dan mendorong Rancangan Qanun tersebut masuk dalam Program Legislasi Daerah 2018. LBH banda Aceh juga berupaya untuk mendorong perpanjangan keberlakuan Instruksi Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2016 terkait dengan Moratorium Izin Prinsip Penanaman Modal di Bidang Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh. Hal ini didasari pada kepentingan untuk melakukan review perizinan, resolusi konflik, dan rehabilitasi dampak lingkungan. Selain itu, LBH Banda Aceh mendampingi para perwakilan korban konflik agraria dari 5 kabupaten di Aceh dalam melakukan komplain ke tingkat nasional pada akhir tahun 2017 ini. LBH Banda Aceh bersama jaringan elemen masyarakat sipil lain juga fokus melakukan advokasi terhadap isu KKR Aceh dalam rangka mendorong pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM di Aceh sebagai upaya memperkuat perdamaian.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, LBH Banda Aceh dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerintah harus lebih berkomitmen dan lebih serius dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan hukum dan menunjukkan perspektif keberpihakan terhadap perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia;
2. Aparat penegak hukum harus lebih serius melaksanakan upaya penegakan hukum secara transparant, profesional, dan akuntable serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sesuai dengan cita-cita negara hukum dan hak asasi manusia;
3. Mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah yang serius, sistematis dan konpherensif dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap hak atas tanah bagi rakyat;
4. Mendorong pemerintah untuk memperkuat institusi KKR Aceh sebagai wujud pemulihan yang efektif bagi pemenuhan hak korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh;
5. Mendorong seluruh masyarakat untuk dapat terlibat dalam melakukan pengawasan terhadap upaya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia secara aktif sesuai dengan peran dan kapasitas masing-masing.
Banda Aceh, 29 Desember 2017
YLBHI-LBH Banda Aceh,
Direktur
ttd
Mustiqal Syahputra, S.H.
HP : 085260192443
Nara Hubung : Chandra Darusman (082164071935)