Penyelesaian konflik pertanahan antara Pemkab dan masyarakat Eks Dusun Nelayan Makmur, Desa Pasi Pinang, Kecamatan Meureubo yang berjumlah 150 KK sejak tahun 2003 belum tuntas penyelesaian hingga saat ini. Kondisi ini disebabkan oleh sikap Pemkab Aceh Barat yang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dan tanggung jawabnya untuk penyelesaian kasus ini hingga tuntas secara bermartabat. Selain itu, Pemkab Aceh Barat juga tidak bersedia memberikan ganti kerugian (peunayah) atas tanah masyarakat yang terletak di Desa Pasi Pinang, padahal tanah tersebut merupakan tempat relokasi masyarakat dari Desa Padang Seurahet dan Desa Suak Indrapuri.
Pada tahun 2003, Pemkab Aceh Barat melakukan relokasi dan pencabutan hak atas tanah masyarakat dengan cara melawan hukum. Bahkan, dalam prosesnya saat itu, terdapat 76 dokumen kepemilikan hak atas tanah, baik dalam bentuk akte sporadik, surat keterangan, dan surat jual beli disita dan ada tindakan pengrusakan rumah milik masyarakat dengan menggunakan kekuatan militer. Setelah di relokasi, hak masyarakat atas tanah di lokasi relokasi juga tidak dipenuhi oleh Pemerintah hingga saat ini.
Pernyataan komitmen dari Pemkab Aceh Barat untuk menyelesaikan permasalahan ini berbanding terbalik dengan kondisi yang ada. Hal ini terindikasi melalui kinerja Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Pemkab setempat yang tidak bekerja secara maksimal dalam upaya mengumpulkan fakta dan data terkait dengan kasus ini. Bahkan, dalam beberapa kali pertemuan antara masyarakat bersama kuasa hukumnya dengan TPF dan Pemkab Aceh Barat di Kantor Bupati Aceh Barat, terbukti bahwa ada anggota TPF yang mengakui bahwa ianya tidak mengetahui dan tidak memahami duduk perkara dalam kasus ini namun ikut menandatangani pernyataan hasil kinerja TPF. Selain itu, itikad tidak baik dari Pemkab juga terlihat jelas saat TPF dan Pemkab Aceh Barat membatalkan pertemuan secara sepihak pada 16 Oktober 2014, padahal pertemuan tersebut telah disepakati dan menjadi keputusan dalam pertemuan sebelumnya yang berlangsung pada 2 Oktober 2014.
Pada 23 Oktober 2014, Pemkab Aceh Barat menghubungi LBH Banda Aceh Pos Meulaboh untuk bertemu dan dalam pertemuan tersebut Pemkab Aceh Barat menyatakan sikapnya yang tetap tidak bersedia menyelesaikan permasalahan ini dan mendorong masyarakat unutk menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pernyataan yang sama kembali diutarakan oleh Pemkab Aceh Barat di hadapan masyarakat dalam pertemuan pada 24 Oktober 2014.
LBH Banda Aceh selaku Kuasa Hukum masyarakat eks Dusun Nelayan Makmur sangat menyesalkan sikap Pemkab Aceh Barat yang secara jelas dan nyata terlihat bahwa Pemkab Aceh Barat gagal mewujudkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat. Seharusnya, Pemkab Aceh Barat menjalankan perannya sebaik mungkin guna menyelesaikan konflik yang terjadi, bukan sekedar membentuk tim yang bekerja “setengah hati” dan kemudian tanpa beban menyatakan agar persoalan ini diselesaikan melalui pengadilan.
Oleh karena itu, pada Rabu, 25 Maret 2015, LBH Banda Aceh bersama perwakilan masyarakat eks Dusun Nelayan Makmur yang menjadi korban dalam perkara ini telah menemui Tim fasilitasi Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan Propinsi Aceh guna melaporkan kasus ini dan melaporkan sikap serta perspektif Pemkab Aceh Barat yang patut dinilai telah menegasikan hak-hak korban. Selain itu, masyarakat eks Dusun Nelayan Makmur juga menyampaikan kondisi yang terkait dengan kasus kepada Ketua Komisi I DPR Aceh.
Untuk itu, selaku kuasa hukum masyarakat eks Dusun Nelayan Makmur, LBH Banda Aceh mengharapkan peran yang maksimal dari lembaga eksekutif ataupun legislatif di level propinsi untuk dapat mendorong proses percepatan penyelesaian perkara ini secara terhormat dan sebagai wujud perlindungan terhadap kepastian hak rakyat atas tanah.
Banda Aceh, 25 Maret 2015
Koordinator LBH Banda Aceh Pos Meulaboh
Kuasa Hukum Masyarakat eks Dusun Nelayan Makmur
Chandra Darusman S, S.H