(Catatan Akhir Tahun LBH Banda Aceh 2016)
Sejak tahun 1995, LBH Banda Aceh –sebagai bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang telah berkiprah selama kurun waktu hampir setengah abad dalam bidang bantuan hukum dan HAM– mewarisi paradigma dan visi misi Bantuan Hukum Struktural (BHS). Sesuai dengan paradigma dan visi misi BHS, LBH Banda Aceh terus mengabdikan diri dalam memberikan layanan bantuan hukum dan penegakan prinsip serta implementasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Dalam setiap penanganan kasus, LBH Banda Aceh selalu melihat dari perspektif penegakan Hak Asasi Manusia sebagai pondasi dasar dalam menyusun langkah strategi advokasi. Dalam kondisi apapun, pembelaan terhadap penegakan hukum dan HAM selalu menjadi karakter khas LBH secara kelembagaan. Bahkan dalam kondisi darurat sekalipun, LBH masih tetap memberikan pelayanan bantuan hukum dan HAM bagi masyarakat miskin dan marginal yang membutuhkannya.
Mengacu pada kondisi objektif yang ada dan berdasarkan pada pengalaman konkrit, hingga hari ini banyak warga negara yang berpotensi dan telah menjadi korban dari tindakan negara yang secara langsung atau tidak telah melahirkan ketidakadilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak warga negara yang tidak paham dan tidak memiliki pengetahuan serta tidak mendapatkan akses informasi tentang proses hukum yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan; baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Selain itu, gagalnya negara dalam pemenuhan, penghormatan, penjaminan dan perlindungan HAM bagi seluruh warga negara menyebabkan celah ketidakadilan semakin terbuka.
Sepanjang 2016, LBH Banda Aceh menangani 73 kasus yang terdiri dari : 13 kasus yang berdimensi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), 15 kasus yang berdimensi hak sipil dan politik (sipol), 9 kasus yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak, kasus keluarga sebanyak 1 kasus dan 35 kasus khusus.
Dalam konteks dimensi hak ekosob, LBH Banda Aceh menangani 13 kasus yang didominasi oleh kasus perburuhan sebanyak 5 kasus, kasus pelanggaran hak atas tanah dan tempat tinggal sebanyak 3 kasus, malpraktek 2 kasus, hak atas pendidikan, hak atas usaha/ekonomi serta kasus kepegawaian masing-masing 1 kasus. Sedangkan untuk 15 kasus yang berdimensi sipil dan politik terdiri dari 9 kasus perlindungan dan kesewenangan hukum kriminal, 5 kasus penyiksaan dan 1 kasus pelanggaran hak kebebasan berpendapat berekspresi.
Dari sisi aktor pelaku, kasus-kasus pelanggaran hak ekosob didominasi oleh perusahaan sebanyak 5 kasus, instansi pemerintah sebanyak 3 kasus, dokter/rumah sakit sebanyak 2 kasus, anggota DPRD, pejabat kampus, dan keuchik masing-masing 1 kasus. Sedangkan untuk kasus yang masuk dalam kategori pelanggaran hak sipil dan politik, polisi menjadi aktor untuk 7 kasus, BPN sebanyak 4 kasus, perusahaan sebanyak 2 kasus, keuchik dan dinas syariat islam menjadi aktor untuk masing-masing 1 kasus.
Adapun penerima manfaat dari layanan bantuan hukum terhadap 73 kasus tersebut berjumlah 1195 yang dapat dibagi dalam rincian individu sebanyak 62 jiwa dan 11 kelompok yang terdiri dari 1133 jiwa.
Prinsip Bantuan Hukum Struktural yang dipedomani oleh LBH Banda Aceh tidak hanya diwujudkan dalam pelaksanaan layanan bantuan hukum semata, namun juga dilakukan dalam bentuk pendidikan hukum kritis sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman publik terkait hukum dan HAM, serta mendorong lahirnya kebijakan yang menjamin pemenuhan dan perlindungan hak asasi bagi seluruh warga negara. Salah satu agenda kerja yang dilakukan oleh LBH Banda Aceh dalam melakukan advokasi kebijakan adalah menginisiasi perumusan Draft Qanun Pertanahan Aceh yang telah diserahkan kepada DPRA pada 28 November 2016 yang lalu dan menginisiasi lahirnya Instruksi Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2016 terkait dengan moratorium izin prinsip penanaman modal di bidang perkebunan kelapa sawit di Aceh. Selain itu, LBH Banda Aceh bersama jaringan elemen masyarakat sipil lain juga fokus melakukan advokasi terhadap isu KKR Aceh.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, LBH Banda Aceh dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerintah harus lebih berkomitmen dan lebih serius dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan hukum dan menunjukkan perspektif keberpihakan terhadap perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
2. Kepolisian harus lebih serius melaksanakan upaya penegakan hukum secara transparant, profesional, dan akuntabel serta mengedepankan aturan hukum yang berlaku yang sesuai dengan cita-cita negara hukum dan hak asasi manusia.
3. Mendesak Pemerintah untuk menjamin pemenuhan terhadap akses dan hak atas kesehatan bagi seluruh warga negara, termasuk menyediakan sarana dan prasarana yang baik, merata dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
4. Mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah yang serius, sistematis dan konpherensif dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
5. Mendorong seluruh masyarakat untuk dapat terlibat dalam melakukan pengawasan terhadap upaya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia secara aktif sesuai dengan peran dan kapasitas masing-masing.
Banda Aceh, 30 Desember 2016
LBH Banda Aceh
Kepala Operasional
ttd
Chandra Darusman S, S.H., M.H.
HP: 082164071935