Harapan Korban di Ujung Pengesahan Raqan KKR Aceh
Pembahasan Rancangan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sudah mendekati final. Anggota Komisi A DPR Aceh, Nurzahri, menegaskan bahwa Rancangan Qanun KKR itu akan disahkan dalam sidang paripurna DPR Aceh pada Desember ini. Dengan demikian diharapkan mulai 2014, upaya pengungkapan kebenaran atas pelanggaan HAM masa lalu di Aceh, akan segera dimulai.
Kami masyarakat sipil Aceh bersama dengan masyarakat korban pelanggaran HAM masa konflik di Aceh tentu sangat mengapresiasi dan menghargai keputusan DPR Aceh yang berjanji akan menuntaskan pembahasan Qanun KKR ini, meskipun sedikit terlambat.
Dalam pertemuan antara LBH Banda Aceh dan beberapa LSM yang bergerak di isu HAM dengan korban pelanggaran HAM di Aceh yang dilakukan di (17 )kabupaten kota dari tanggal 23 November sampai 1 Desember 2013 dan dialog publik yang dilakukan pada 2 dan 3 Desember 2013 di Lhokseumawe dan Melaboh, telah dikemukakan kritikan terhadap materi draf final qanun itu. Hendaknya kritikan dari masyarakat korban pelanggaran HAM tersebut mendapat perhatian dari para anggota dewan.
Beberapa kritikan tersebut antara lain dalam rancangan qanun ini sama sekali tidak menjelaskan jangka waktu keberadaan KKR Aceh. KKR Aceh terkesan bersifat permanen. Padahal di berbagai negara, KKR bersifat sementara, sebab kasus yang ditangani adalah pelanggaran HAM masa lalu. Dalam pasal 19 Rancangan Qanun KKR Aceh disebutkan bahwa pengungkapan kebenaran untuk kasus Aceh fokus pada dua tahap, yakni tahap pertama antara tahun 1976 – 2005 dan tahap kedua sebelum tahun 1976.
Menurut korban, mengenai jangka waktu pengungkapan kebenaran lebih baik dibatasi saja dari tahun 1976-2005 karena pada tahun tersebut banyak ditemukan kasus pelanggaram HAM, saksi yang masih hidup dan bukti untuk diinvestigasi. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di bawah tahun 1976, jika ditemukan pelanggaran HAM tetap diberi ruang bagi korban untuk memberi kesaksian melalui mekanisme KKR Aceh dan dijadikan sebagai bagian klarifikasi sejarah.
Selain itu, dalam pasal 3 ayat (2) rancangan qanun terebut menyebutkan, anggota komisioner KKR Aceh bisa mencalonkan diri untuk periode kedua. Perwakilan korban meminta masa jabatan komisioner cukup 4 tahun, setelah itu bisa diperpanjang. Soal kriteria komisioner KKR ini seharusnya dipertegas dalam qanun, di mana perwakilan korban, keterwakilan daerah dan keterwakilan perempuan harus masuk di dalamnya.
Pasal 36 menyebutkan, “untuk proses rekonsiliasi akan dilakukan oleh lembaga Wali Nanggroe”. Poin ini berpotensi menghadirkan transaksional politik mengingat posisi Wali Nanggroe masih mengundang perdebatan di pemerintahan pusat. Kalau poin ini dimasukkan, bukan tidak mungkin nasib Qanun KKR akan menggantung sebagaimana halnya Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera Aceh. Lagi pula Wali Nanggroe yang sekarang juga merupakan aktor dalam konflik Aceh. Sangat tidak elok kalau ia dilibatkan dalam proses rekonsilisasi.
Pasal 26 ayat (5) menyebutkan “upaya-upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta berbagai pihak lain, dapat digolongkan sebagai kegiatan reparasi untuk para korban. “ Pasal ini menghadirkan kesan bahwa bantuan yang telah diberikan kepada korban konflik selama ini bisa jadi merupakan bagian dari hasil kerja KKR ke depan. Ini cukup aneh, karena bisa saja Pemerintah Aceh mengklaim bahwa bantuan yang semestinya diberikan untuk korban, telah diberikan jauh sebelum KKR tersebut dibentuk. Kalau ini terjadi, maka protes akan mencuat dari para korban. bahwa selama ini yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan bukan pemenuhan hak korban dalam kkr bantuan yg sdh diberikan tidak bisa disebut reparasi (pemulihan) adalah hak korban yg wajib di penuhi oleh negara)
Masalah reparasi ini kian kabur lagi jika melihat Pasal 28 yang menyebutkan bahwa, “Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program reparasi bagi korban pelanggaran HAM, dapat menunjuk suatu lembaga yang melaksanakan reparasi.” Pasal ini menunjukan adanya indikasi kalau Pemerintah Aceh akan membentuk badan baru untuk penangan reparasi bagi para korban. Tentu ini adalah tindakan pemborosan. Aceh seharusnya tidak membutuhkan lagi badan baru untuk menangani korban konflik. Program reparasi dan rekonsiliasi mestinya menjadibagian yang tidak dapat dipisahkan dari kerja-kerja seluruh SKPA.
Kelemahan lain yang sangat fatal dari Rancangan Qanun KKR ini adalah tidak adanya perlindungan bagi para saksi dan korban. Seharusnya qanun ini memikirkan keamanan para saksi dan korban yang dimintai keterangan. Jika tidak, bisa jadi masyarakat akan takut memberikan keterangan karena adanya potensi ancaman dari pihak tertentu. Harusnya materi Qanun KKR Aceh mesti menyebutkan secara (tegas ) keterlibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi para saksi korban pelanggaran HAM Aceh.