BANDA ACEH – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk aktivis HAM dan anggota legislatif di Aceh memprotes keras penembakan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap Junaidi (30) alias Beurijuek di SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Kamis (27/8) sekitar pukul 14.30 WIB. Aksi tembak di tempat tersebut dinilai menyalahi prosedur penanganan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dan Peratuan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009.
Protes dari berbagai kalangan tersebut diterima Serambi sepanjang hari kemarin, Jumat (28/8) melalui siaran pers maupun pernyataan langsung. Hingga tadi malam tercatat yang melayangkan protes tersebut masing-masing Pengamat Politik dan Keamanan Aceh Aryos Nivada, KontraS Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA, dan anggota Komisi I DPRA Iskandar Usman Al-Farlaky.
Sedangkan Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRA, Asrizal H Asnawi meminta Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf membina para mantan kombatan yang terlibat dalam kelompok kriminalitas bersenjata di Aceh, bukan malah menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada pihak kepolisian.
“Seharusnya, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh mempertimbangkan kembali statement mereka tentang proses penegakan hukum tersebut dan membina para mantan kombatan. Karena kemenangan pasangan Zikir (Zaini-Muzakir) juga besar andil dari para korban-korban penegakan hukum ini,” kata Asrizal.
Meski demikian, Asrizal tidak mempersoalkan tindakan yang dilakukan kepolisian Aceh dengan menembak mati Beurijuek, karena polisi hanya melaksanakan tugas dalam penegakan hukum. Tapi, katanya, untuk menjaga agar tidak ada lagi pertumpahan darah di Aceh, maka Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh harus merangkul para mantan kombatan.
Pengamat Politik dan Keamanan Aceh Aryos Nivada menilai, penembakan yang dilakukan polisi terhadap Beurijuek menyalahi prosedur penanganan Kamtibmas. Jika pun pelaku berusaha melarikan diri, cukup dilumpuhkan, bukan ditembak mati. Menurutnya, tindakan tersebut sebuah kesalahan fatal yang dilakukan polisi, sebab saat terjadi penembakan korban tidak menggunakan senjata yang membahayakan.
“Jangan polisi memaknai dilumpuhkan itu ya ditembak mati, masak polisi tidak punya keahlian menembak di bagian kaki. Apalagi polisi jago bela diri, masak tidak bisa melumpuhkan secara fisik setelah ditembak kakinya. Yang harus dipahami tindakan penumpasan kelompok Din Minimi harus ditinjau sebagai kriminalitas biasa bukan teroris yang harus tembak di tempat,” katanya.
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra menambahkan, apa yang dilakukan pihak kepolisian bukanlah sebuah tindakan melumpuhkan korban, karena sasaran tembaknya di bagian dada dan leher. Jika tujuannya melumpuhkan, cukup ditembak di bagian kaki. “Kalau pun harus dilumpuhkan kenapa mesti menggunakan senjata api, sedangkan korban tidak bersenjata, seharusnya bisa dengan tangan kosong saja,” kata Hendra.
Hendra menilai, tindakan polisi menyalahi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Pada Pasal 5 disebutkan, tahapan kepolisian dalam upaya penggunaan kekuatan, di mana penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir. Ironisnya, selama ini upaya penggunaan senjata api lebih ditonjolkan oleh polisi. “Ini menunjukkan kalau Polda Aceh gagal menerapkan prinsip Polmas (polisi masyarakat) yang selama ini sudah dibangun di Polda Aceh,” ujarnya.
Langgar HAM
Protes lainnya disampaikan Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad. Menurut Zulfikar, tembak di tempat terhadap Beurijuek melanggar Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), terutama jaminan hak hidup. “Koalisi NGO HAM Aceh sangat menyayangkan pola operasi polisi dalam lingkup Polda Aceh yang masih mengedepankan arogansi,” tulis Zulfikar dalam siaran pers-nya.
Dia menduga, operasi penangkapan Beurijuek telah dengan sengaja mengabaikan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Pasal 11 Huruf (j) yang menyebutkan, setiap petugas/anggota Polri dilarang menggunakan kekerasan dan/atau senjata api berlebihan. Selain itu, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 3 tentang enam prinsip penggunaan kekuatan kepolisian seperti legalitas, nessesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif, dan masuk akal.
Protes juga disuarakan Koordinator LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Fauzan SH. Menurut Fauzan, kasus penembakan Beurijuek yang dilakukan di tempat umum sangat membahayakan keselamatan orang lain. “Seharusnya, polisi tidak menembak mati, melainkan cukup melumpuhkan dengan cara menembak di kaki ketika tembakan peringatan tidak diindahkan,” begitu pernyataan LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe.
Faktor kesejahteraan
Ketua Fraksi Partai Aceh DPRA, Kautsar SHI dan anggota Komisi I DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky, juga menanggapi kasus penembakan Beurijuek. Pada prinsipnya, kedua politisi Partai Aceh ini mendukung upaya penegakan hukum terhadap siapapun yang terbukti melakukan tindak kriminal, apa lagi terhadap kelompok bersenjata api. Tapi, penegakan hukum harus dilakukan secara terukur dan profesional dengan menjunjung tinggi HAM.
“Kami mencermati munculnya aksi besenjata api yang dilakukan oknum eks kombatan tidak relevan bila hanya mengandalkan pendekatan keamanan sebagai solusi tunggal. Sebab dalam konteks Aceh, aksi bersenjata semacam ini selalu berpotensi muncul jika kesejahteraan terhadap mereka belum terpenuhi,” kata Kautsar.
Menurut Kautsar, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh harus memenuhi kesejahteraan mantan kombatan dan korban konflik melalui program reintegrasi, rehabilitasi, dan reparasi sebagaimana tertuang dalam perjanjian damai Helsinki. “Berdasarkan evaluasi kami, program-program khususnya untuk korban konflik masih belum tersentuh meski pemerintah sudah mengantongi data-data kerusakan dan dampak konflik di Aceh,” ujarnya.
Sedangkan menurut Iskandar, penembakan di bagian kepala dan dada itu merupakan tindakan berlebihan yang tidak perlu terjadi. Karena, katanya, tindakan pelumpuhan terhadap seseorang yang masih berstatus terduga semestinya dapat dihindari oleh aparat hukum di lapangan.
Upaya tersebut dilakukan hanya pada situasi mendesak yang mengancam keselamatan nyawa. “Ini bukan soal membela para terduga itu. Tapi saya lebih melihat ke persoalan penegakan hukumnya. Jangan sampai aparat kita justru dianggap telah bertindak sembarangan dan melanggar hak asasi manusia,” tegasnya.
Seperti diberitakan, Junaidi (30) alias Beurijuek, asal Nisam Antara, Aceh Utara yang diklaim pihak kepolisian sebagai anggota Nurdin Ismail alias Din Minimi (37), tewas ditembak di SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Kamis (27/8) sekitar pukul 14.30 WIB. Sedangkan temannya, Ismuhar (26) yang berboncengan naik sepeda motor, diamankan polisi.
Menjelang penembakan itu, Beurijuek bersama Ismuhar, warga Blang Pulo, Kecmatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, mengendarai sepeda motor Yamaha RX King melaju dari arah Lhokseumawe menuju Batuphat (arah Bireuen).
Sesampai di dekat SPBU, polisi yang sudah sejak awal menguntit sepmor tersebut berupaya menghentikannya, tapi Beurijuek (diambil dari nama sejenis burung -red) tidak mau berhenti. Ia malah berlari ke dalam pekarangan SPBU.
Selanjutnya, polisi menyerempet sepmor tersebut hingga jatuh dan menangkap keduanya. Dalam proses penangkapan tersebut, Beurijuek tewas tertembak di lokasi kejadian. Jenazahnya pun dievakuasi ke RSU Cut Meutia, Aceh Utara, untuk divisum. Adapun Ismuhar, dibawa polisi untuk melakukan pengembangan penyelidikan kasus ini.
Copyright by : http://aceh.tribunnews.com