Seiring akan berakhirnya HGU PT Parasawita pada 2015, semangat hidup masyarakat kembali bergeliat. Mereka sejatinya akan meraih kembali tanah seluas 144 hektar yang selama ini dikuasai perusahaan itu. Tapi harapan ini sepertinya pupus. Badan Pertahanan Nasional kembali memperpajang HGU ke perusahaan lain, yakni PT Rapala.
Berkas setebal 104 halaman itu di serahkan Ketua Aliansi Gerakan Rakyat Tertindas (Granat) O.K. Sanusi pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Teuku Irwan Djohan. Isinya, kronologis lengkap dugaan penyerobotan lahan milik warga Kecamatan Bendahara dan Banda Mulia, Aceh Tamiang seluas 144 hektar.
Jumat sore pekan lalu itu, Sanusi bersama 10 warga yang mengaku pemilik tanah tersebut mengadu pada wakil rakyat. “Kami minta tanah kami dikembalikan,” kata Sanusi dalam pertemuan yang berlangsung di ruang sementara Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem), lantai III, gedung DPRA, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh.
Sebelum ke DPRA, sebetulnya Sanusi dan warga pemilik tanah sudah lebih dulu melaporkan ini pada Pemerintah Aceh. Laporan mereka itu diterima Asisten I Iskandar A. Gani dan ikut serta pegawai dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Provinsi Aceh, Saiful Azhari. “Kami sudah sampaikan pada eksekutif, bila penyerobotan tanah ini sudah berlangsung sejak 1986 oleh PT. Parasawita dan kini berlanjut oleh PT. Raya Padang Langkat (Rapala),” kata Sanusi.
Di hadapan wakil rakyat, Sanusi lantas mengulang kisah penyerobotan ini. Kata dia, tanah seluas 144 hektar tersebut merupakan harta warisan orang tua mereka. Tanah itu sebagai jaminan antara masyarakat Aceh Tamiang dengan pihak Belanda. “Tanah itu sebagai kontrak, jika Belanda kalah, maka tanah tersebut menjadi hak milik masyarakat untuk kembali boleh bercocok tanam,” katanya.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Belanda akhirnya angkat kaki dari Indonesia. “Masyarakat lantas mengambil kembali hak milik orang tua mereka itu. Tapi diam-diam, PT Paraswara ternyata tertarik pada areal tersebut. Untuk ini, kata Sanusi, beberapa upaya dilakukan, mulai dari teror hingga penculikan.
Ismail misalnya, pria yang berumur 55 tahun itu mengaku, tanah tersebut sudah digarap 1943 sampai 1986. Namun, tahun 1986 musibah menimpa Ismail, dirinya mengaku pernah diculik gara-gara bercocok tanam di area tanah yang sedang berkonflik itu.
Ismail menceritakan, dirinya pernah dibawa ke Sumatera Utara, atas tuduhan telah merampas tanah milik PT. Parasawita. Tapi Ismail tetap keukeh, dirinya tak mau menanda tangani surat pengakuan bahwa tanah tersebut milik perusahaan PT. Parasawita.
Akibatnya, Ismail mengatakan, giginya rontok dihajar sejumlah oknum yang diduga centeng PT Paraswita. “Tapi saya tetap bertahan karena tanah itu memang milik orang tua saya,” kata Ismail, sembari membuka mulutnya lebar-lebar. Benar saja, gigi Ismail memang sudah tanggal semua.
O.K. Sanusi menambahkan, kuat dugaan ada praktik main mata dalam proses perpajangan surat Hak Guna Usaha (HGU) dari PT. Parasawita ke PT. Rapala.
Kata Sanusi, seharusnya perpajangan HGU yang dikeluarkan BPN harus lewat persetujuan masyarakat selaku pemilik tanah. “Karena sampai tahun 2012 pajak tanah tersebut masih dibayar oleh masyarakat, selaku pemilik tanah,” katanya.
Celakanya, penantian 19 tahun masyarakat, terancam kembali berlanjut. Maklum, HGU PT. Rapala Bernomor 00168 dan 00169 yang dikeluarkan BPN RI pada 22 April 2014 lalu, baru akan berakhir pada 30 Desember 2040. Ini artinya masyarakat harus menunggu 26 tahun lagi untuk bisa menggarap lahan yang mereka yakini miliknya. “Jelas kami keberatan,” kata Sanusi.
Sanusi mengaku mewakili 500 lebih Kepala Keluarga (KK) yang keberatan dengan kebijakan penerbitan HGU tersebut. “Ini sama saja penyerobotan,” katanya.
Itulah sebabnya, kata Sanusi, Granat bersama masyarakat pemilik tanah tetap akan melawan penindasan itu, karena lahan adalah satu-satunya harapan mereka untuk menyambung hidup dari bercocok tanam. “Kami juga tidak mau ganti rugi,” kata O.K. Sanusi, diamini rekan-rekan lain.
Zulkifli Abdul Raja, yang juga pemilik lahan menambahkan, mulusnya penerbitan HGU PT Rapala diduga lantaran ada kong kalikong antara Kanwil BPN Aceh dengan pihak perusahaan. Dugaan ini muncul karena mereka memantau aktif aktivitas di BPN sepanjang April 2014 lalu. “Awal April, tidak ada satu pun perusahaan yang mengurus HGU. Tapi sekitar dua minggu setelah itu, tiba-tiba sudah dikeluarkan HGU baru untuk PT. Rapala. Ini yang menguatkan dugaan kami BPN Aceh memang ikut main mata,” katanya.
Anehnya lagi, saat masyarakat meminta Kanwil BPN Aceh untuk dapat memperlihatkan kelengkapan pengurusan HGU PT. Rapala, tapi tak pernah memberikanya. Padahal kata Zulkifli Abdul Raja, dokumen HGU bukan rahasia negara. “Jangankan pemilik tanah, masyarakat lain juga boleh meminta,”katanya.
Kuasa hukum Granat, Chandra Darusman dari LBH Aceh menambahkan contoh kejanggalan lain dalam kasus itu. Ganti rugi yang disebut-sebutkan tidaklah benar ada dilakukan oleh PT. Parasawita selaku yang mendapat HGU pertama dalam tanah tersebut. Kecuali itu, kata Chandra, perusahaan PT. Parasawita hanya memberi uang kepada masyarakat sebagai ongkos pembersihan lahan. “PT. Rapala dengan PT. Parasawita masih ada ‘hubungan darah’, badan hukumnya saja beda,” katanya. Lanjut Chandra menegaskan, “Uang yang diberikan pada masyarakat oleh PT. Parasawita pada tahun 1986, senilai Rp 5 ribu sebagai ongkos untuk membersih lahan.”
Berbagai dugaan praktik culas itu dibantah Kepala BPN Aceh Mursil. Dihubungi melalui telepon selulernya, dia mengatakan persyaratan PT. Rapala untuk mengurus HGU sudah mencukupi. Dari Pemerintah Aceh Tamiang sudah menyetujui, meskipun itu diwakili oleh Asisten I.
Mursil berharap, masyarakat bisa paham akan undang-undang, berdasarkan peraturan pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996, dua tahun HGU mau berakhir, maka sudah dapat diurus kembali. Bila tidak, perusahaan takut rugi, karena sumua perusahaan ada keterikatan dengan bank.
Mursil melanjutkan, tanah yang diributkan masyarakat dari Kecamatan Bendahara dan Banda Mulia, Aceh Tamiang sudah dua kali ganti rugi. “Ada tudingan tanah itu belum ada ganti rugi, itu tidak benar, sudah dua kali, kalau berkasnya tidak lengkap, tidak mungkin kami keluarkan, Camat Abdul Muin mengetahui semuanya,” ujar Mursil, Jumat malam pekan lalu.
Anggota DPRA dari Partai NasDem Teuku Irwan Djohan, mengaku prihatin atas peristiwa yang menimpa masyarakat Kecamatan Bendahara dan Kecamatan Banda Mulia. Ia berharap agar Pemerintah Aceh dapat mengkaji dan mempelajari kembali sengketa tanah seluas 144 hektar itu.
Teuku Irwan Djohan mengatakan, pengecekan terhadap lahan yang berkonflik ini, bukan bermaksud menghambat investor untuk berinvestasi di Aceh. Tapi, kebenaran hukum tentu mutlak dibutuhkan, agar silang pendapat yang nanti dikhawatirkan akan memicu konflik horizontal, perlu dikaji dan dipertimbangkan.
Apalagi bupati Aceh Tamiang, kata Irwan Djohan, juga telah menjelaskan berbagai argumentasi hukum, terkait HGU PT. Rapala. Bahkan, Irwan Djohan berjanji akan membantu masyarakat sesuai fungsi yang dimikilinya. Maka, salah satu rencana Teuku Irwan Djohan akan mendiskusikan masalah itu dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang kini dijabat Ferry Mursyidan Baldan. “Saya ikut prihatin, Pemerintah Aceh kiranya dapat meninjau kembali kisruh tanah tersebut, saya juga akan berupaya untuk mencari tahu permasalahan dan membicarakan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” ujar Teuku Irwan Djohan.
Sayangnya, penjelasan dari PT. Rapala terkait klaim masyarakat itu tak mendapat jawaban. Saat media ini minta tanggapan lewat SMS Jumat sore pekan lalu, Manager Boyman, tak merespon. Dihubungi Sabtu siang, nomor hand phone miliknya tidak aktif.
copyright by : http://www.modusaceh.com/