BANDA ACEH – Konflik lahan di antara warga dengan perusahaan perkebunan PT Rapala sudah berjalan puluhan tahun. Warga di empat kampung dalam Kecamatan Bendahara dan Banda Mulia meminta agar perusahaan asal Sumatera Utara tersebut mengembalikan tanah seluas 144 hektare yang diduga diserobot perusahaan sejak 1980-an.
“Hari ini, LBH Banda Aceh dan Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Aceh yang selama ini mendampingi warga melakukan pertemuan dengan Komisi I DPR Aceh,” kata Sekretaris Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Aceh, Muhajir, kepada portalsatu.com, Rabu, 5 Agustus 2015.
Dalam pertemuan tersebut, LBH Banda Aceh diwakili oleh Wakil Direktur Zulfikar dan Ketua Divisi Ekosob LBH Banda Aceh Wahyu. Sedangkan Pospera Aceh diwakili oleh Sekretaris DPD Pospera Aceh, Muhajir. Anggota Komisi I yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Ketua Komisi I DPR Aceh Abdullah Saleh, anggota Bardan Sahidi dan Buhari Selian.
LBH Banda Aceh dan Pospera menjelaskan kronologis kasus dari tahun 1980-an hingga saat ini. Wahyu Pratama mengatakan tujuan kedatangan agar DPR Aceh turut ambil bagian menyelesaikan kasus ini dengan kewenangannya yang ada.
“Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang sudah lepas tangan. Mereka tidak mampu dan seperti buang badan melihat kasus ini,” kata Wahyu Pratama.
Wahyu mengatakan masyarakat sudah pernah melaporkan kasus tersebut ke Tim Penyelesaian Sengketa Lahan Pemerintah Aceh yang diketuai oleh Asisten I Pemerintah Aceh Iskandar A. Gani. “Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya,” kata Wahyu.
Sementara itu, Sekretaris Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Aceh, Muhajir, menjelaskan, yang menjadi masalah di lapangan saat ini adalah PT Rapala beroperasi di lahan sengketa seluas 144 hektare.
“Sejak Juni 2015, perusahaan sudah tiga kali hendak melakukan operasi pembersihan lahan dan masyarakat tetap menentangnya. Masyarakat ingin agar perusahaan tidak beroperasi di lahan sengketa tersebut hingga kasus ini selesai,” kata Muhajir.
Dia menjelaskan, awal konflik terjadi ketika pada tahun 1980-an. Saat itu perusahaan perkebunan PT Parasawita mengambil tanah rakyat secara paksa yang melibatkan aparat TNI. Sembilan masyarakat yang menentang pada saat itu diculik dan dibawa ke penjara Gaperta di Medan, Sumatera Utara. Dua diantaranya meninggal dunia dan tujuh lainnya saat ini masih hidup.
“Tapi sudah tua dan dalam keadaan sakit terus sejak pulang dari penjara Gaperta,” kata Muhajir.
Setelah kejadian pemaksaan itu, tidak ada lagi masyarakat yang melawan. Saat ini, tanah HGU yang dulunya milik PT Parasawita sudah dikuasai PT Rapala. “Dan masyarakat tetap meminta agar tanah seluas 144 hektar tersebut kembali kepada mereka,” ujar Muhajir.
Copyright by : http://portalsatu.com