SIARAN PERS “KETIKA HUKUM MENJADI SIMBOL KEJAHATAN STRUKTURAL DAN SISTEMIK”

0
1176

Direktur LBH Banda Aceh : Mustiqal Syahputra, S.H.

“Suatu Refleksi Catatan Hitam Penegakan Hukum dan HAM di Aceh 2015”

Sepanjang tahun 2015, LBH Banda Aceh menerima dan menangani kasus sebanyak 127 kasus. Sesuai dengan mandat lembaga, LBH Banda Aceh memberikan layanan bantuan hukum dengan 2 (dua) kategori, yaitu: Bantuan Hukum Struktural (BHS) yakni kasus-kasus yang berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan Bantuan Hukum Cuma-Cuma (BHC) bagi rakyat miskin.


LBH Banda Aceh mencatat banyaknya terjadi penyimpangan terhadap prinsip negara hukum dan pelanggaran HAM yang terjadi tahun ini menunjukkkan bahwa penghormatan, pengakuan negara terhadap HAM masih hanya bersifat parsial semata. Selain itu, negara juga telah mengingkari prinsip-prinsip negara hukum yang melandasi berjalannya negara ini. Untuk Tahun 2015 ini, LBH Banda Aceh mencatat terjadi kasus pelanggaran HAM dengan perincian 17 kasus pelanggaran hak sipil politik dan 18 kasus pelanggaran hak ekonomi sosial budaya, 7 kasus keluarga, 17 kasus perempuan dan anak, serta 68 kasus khusus. Data pelanggaran HAM ini merupakan hasil data base LBH Banda Aceh sepanjang tahun 2015 yang berasal dari 3 kantor; yakni, Banda Aceh, Lhokseumawe dan Meulaboh.


 Kasus Pelanggaran Hak Sipil Politik

Kasus pelanggaran hak sipil politik yang terjadi sepanjang tahun 2015 sebayak 17 kasus yang terdiri dari kasus pelanggaran terhadap hak atas pengakuan yang sama di hadapan huum sebanyak 3 kasus, pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berekpresi sebanyak 1 kasus, hak bebas dari siksaan yang tidak manusiawi dan hak kesamaan di muka hukum tanpa diskriminasi masing-masing 2 kasus, pengangkangan terhadap hak perlindungan dari kesewenangan hukum kriminal sebanyak 7 kasus, pelanggaran hak kebebasan dan keamanan pribadi serta pengabaian terhadap hak tahanan yang manusiawi masing-masing 1 kasus.


Dari 17 kasus pelanggaran hak sipil politik, Kepolisian menjadi pelaku yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran, yaitu 13 kasus, diikuti oleh institusi DPRD sebanyak 5 kasus, Hakim, PNS/Kepala WH dan petugas Lapas masing-masing sebanyak 1 kasus.


Dalam konteks pelanggaran hak sipil politik yang terjadi di Aceh pada tahun 2015 juga tak kalah memilukan. Perkara yang berkaitan dengan hak hidup dan perlakuan yang tak manusiawi juga masih saja terjadi di Aceh pasca konflik. Lihat saja bagaimana WA (23) yang dianiaya oleh 8 orang anggota kepolisian yang bertugas di wilayah Polres Aceh Barat pada 3 Mei 2015. Begitu juga dengan Junaidi alias Beureujuek (30) yang ditembak oleh aparat kepolisian di SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, pada Kamis 27 Agustus 2015 yang lalu. Kasus penganiayaan terhadap warga binaan di LP Kelas IIB Meulaboh justru tidak hanya terjadi satu kali di tahun 2015 ini. Ini hanyalah contoh kasus yang menggambarkan bahwa penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi masih rendah dan sangat tidak maksimal di propinsi ini.


Salah satu fungsi yang wajib dijalankan oleh institusi kepolisian adalah fungsi penegakan hukum. Hal ini secara konkrit diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Hukum harus ditegakkan pada semua subjek hukum, karena setiap orang sama di hadapan hukum. Prilaku aparat penegak hukum yang tidak konsisten dalam menegakkan aturan dan bersikap seperti yang disebutkan di atas semakin membuat kepercayaan publik terhadap hukum menjadi semakin lemah dan hakikatnya dapat dipandang sebagai tindakan yang merendahkan martabat hukum. Tentu ini akan menjadi preseden buruk dalam proses mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.


Adanya praktek penegakan hukum yang tajam ke bawah seperti ini menunjukkan realitas bahwa negara -melalui institusi sektor- masih setengah hati melaksanakan prinsip hukum yang berkeadilan dan mengimplementasikan nilai-nilai hak asasi manusia secara konpherensif dan bermartabat.


Berdasarkan uraian tersebut, jelas terlihat bahwa reformasi institusi kepolisian yang bertujuan untuk mengubah citra polisi yang militeristik ke arah polisi sipil (civilian police) yang demokratik, profesional, dan akuntabel, menjunjung tinggi hukum dan menghormati HAM dalam pelaksanaan tugasnya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidak optimalnya reformasi institusi kepolisian ini disebabkan karena polisi masih melakukan pelanggaran HAM dalam melaksanakan tugas pokoknya. Beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian seperti penyiksaan, penangkapan, penggeledahan dan penembakan sewenang-wenang dan unprosedural, rekayasa kasus, serta adanya sikap undue delay process dalam upaya penegakan hukum.


Lemahnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban dalam institusi kepolisian merupakan salah satu penyebab polisi menjadi aktor dominan pelanggaran terhadap hak sipil politik sepanjang tahun 2015. Ketidakmauan polisi untuk menindak anggota sendiri menyebabkan tidak adanya pelajaran yang dapat dipetik dan tidak dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi kalangan internal kepolisian, sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM masih terus dilakukan oleh anggota kepolisian.


 Kasus Pelanggaran Hak Ekonomi Sosial Budaya

Pelanggaran HAM dalam aspek hak ekonomi, social dan budaya yang terjadi sepanjang 2015 berjumlah 18 kasus. Jumlah tersebut dapat dirinci dari kasus pelanggaran hak atas tanah dan tempat tinggal sebanyak 5 kasus, kasus terkait dengan pelanggaran hak normatif buruh sebanyak 2 kasus, kasus kriminalisasi terhadap buruh 1 kasus, kasus hubungan kerja sebanyak 3 kasus, pelanggaran hak atas lingkungan sebanyak 3 kasus, pelanggaran hak atas pelayanan publik 1 kasus, pelanggaran hak atas usaha/ekonomi 1 kasus, dan pelanggaran hak pendidikan sebanyak 2 kasus.


Dari segi aktor/pelaku pelanggaran hak ekosob, perusahaan menempati posisi sebagai aktor yang paling dominan yang menyebabkan munculnya pelanggaran, yaitu sebanyak 12 kasus. Selanjutnya, Pemerintah Daerah menjadi pelaku untuk 2 kasus, institusi Dinas Pekerjaan Umum dan kepala desa menjadi pelaku masing-masing 1 kasus, dan lembaga pendidikan menjadi pelaku untuk 2 kasus.


Sesungguhnya tiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan, dan apapun bentuknya yang mengakibatkan tersingkirnya hak rakyat atas atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam di segala sector agraria merupakan pelanggaran terhadap hak dasar mereka, yakni hak asasi. Oleh sebab itulah, hak masyarakat atas tanah dan hak mereka dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan hal yang harus dilindungi dan dijamin pemenuhannya oleh negara. Penekanan ini menjadi penting agar tercipta arah kebijakan politik negara yang mampu menjembatani kepentingan warga Negara dengan baik.


Namun, kondisi objektif menunjukkan bahwa penguasaan atas tanah di negeri ini selalu diwarnai oleh banyaknya kebijakan pertanahan yang kapitalistik. Kebijakan-kebijakan kapitalistik tersebut tidak dapat dipungkiri telah melahirkan ketidakadilan yang harusnya ditanggung oleh Negara, yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh warga Negara. Namun, kondisi objektif yang ada justru membuktikan bahwa Negara malah menggunakan otoritas kekuasaannya untuk secara sengaja menjadikan sekelompok orang untuk dapat menguasai sumber daya agrarian melebihi batas maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang. Tindakan pemerintah yang tak berpihak pada warganya, -terutama rakyat miskin dan kaum rentan- sesungguhnya adalah bentuk yang paling nyata dari tindakan kekerasan dan penindasan oleh Negara terhadap rakyat.


Begitu pula dalam hal penghormatan terhadap hak buruh. Jika melihat sumber masalah yang lebih dalam, apa yang dialami buruh merupakan permasalahan struktural dan sistemik yang bersumber dari kebijakan eksploitatif dan diskriminatif. Pengusaha masih saja menunjukkan itikad mengumpulkan pundi-pundi kapital dan mengakumulasi keuntungan dengan segala cara dan tidak memenuhi kewajibannya terhadap para pekerja.


 Kasus Khusus

Sepanjang tahun 2015, tercatat sebanyak 68 kasus khusus yang ditangani LBH Banda Aceh. Jenis kasus khusus ini terdiri dari kasus perdata dengan jumlah 13 kasus, pidana dengan jumlah 51 kasus dan pidana khusus sebanyak 4 kasus.

Dari jumlah keseluruhan kasus yang masuk sepanjang tahun 2015, 52 kasus ditangani melalui mekanisme litigasi dan 75 kasus mekanisme penanganannya melalui jalur non litigasi, dengan jumlah penerima manfaat sepanjang tahun 2015 adalah sebanyak 111 orang dan 16 kelompok masyarakat.


Selain menjalankan agenda pelayanan bantuan hukum, LBH Banda Aceh juga bekerjasama dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam melakukan pemantauan dan investigasi peradilan di Aceh. Dalam pelaksanaan kerja-kerja pemantauan dan investigasi peradilan, pada tahun 2015, LBH Banda Aceh telah melakukan pemantauan terhadap 14 (empat belas) orang Hakim dan akan menindaklanjuti dengan melaporkannya ke Komisi Yudisial terkait dengan adanya proses pengadilan yang tidak adil dan tidak profesional (unfair & uprofessional trial). Hal ini menunjukan bahwa pelangaran hukum dan etika oleh hakim pada tahun 2015 masih terjadi.


Berdasarkan kajian dan analisis yang dilakukan, LBH Banda Aceh menyimpulkan bahwa di tahun 2015 ini penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Aceh masih mengalami proses yang kelam. Negara, sebagai alat (agency) yang mengatur dan mengendalikan persoalan bersama atas nama rakyat sudah seharusnya berusaha mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur dalam berbagai aspek kehidupan warga Negara. Berbagai kebijakan yang merugikan warga Negara, pola pengawasan dan upaya yang lemah dalam mewujudkan pemenuhan hak warga, serta sikap pengabaian terhadap kondisi kehidupan rakyat pada dasarnya adalah wujud kejahatan yang terstruktur dan sistemik yang kerap terjadi sepanjang tahun 2015.


Untuk itu, LBH Banda Aceh dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Pemerintah harus lebih berkomitmen dan lebih serius dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan hukum yang berkeadilan dan menunjukkan perspektif keberpihakan terhadap perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.

2. Kepolisian harus lebih serius melaksanakan upaya penegakan hukum secara transparant, profesional, dan akuntabel serta mengedepankan aturan hukum yang berlaku yang sesuai dengan cita-cita Negara hukum dan Hak Asasi Manusia, serta melakukan penguatan terhadap pengawasan, monitoring dan evaluasi kinerja di institusi kepolisian.

3. Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi pertanahan dan dan menyusun mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang efektif dan bermartabat dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam rangka mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hak rakyat atas tanah.

4. Lembaga peradilan harus lebih serius meningkatkan kapasitas dan penguatan perspektif Hak Asasi Manusia bagi seluruh aparatur peradilan –khususnya hakim– guna membangun lembaga peradilan yang menjunjung tinggi supremasi hukum yang berkeadilan, serta melakukan pola pengawasan internal yang lebih serius sehingga lahir putusan hakim yang dapat menjadi sumber keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi seluruh pencari keadilan.

5. Mendorong lahirnya Qanun Aceh tentang Bantuan Hukum sebagai wujud komitmen negara hukum dan meningkatkan access to justice bagi seluruh pencari keadilan, terutama bagi masyarakat miskin.


Banda Aceh, 31 Desember 2015

LBH Banda Aceh


Mustiqal Syahputra, S.H.

Direktur


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here