Sepanjang 2014, LBH Banda Aceh menerima dan menangani kasus sebanyak 140 kasus. LBH Banda Aceh memberikan layanan bantuan hukum melalui 2 (dua) kategori, yaitu : Bantuan Hukum Struktural (BHS) yaitu kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan Bantuan Hukum Cuma-Cuma (BHC) bagi rakyat miskin untuk kasus khusus.
Pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa rezim yang berkuasa saat ini masih belum memiliki perspektif yang jelas terhadap perlindungan, pemenuhan dan pemenuhan HAM. Sepanjang tahun 2014, LBH Banda Aceh mencatat terjadi 56 kasus pelanggaran HAM dengan perincian 23 kasus pelanggaran hak sipil politik dan 33 kasus pelanggaran hak ekonomi sosial budaya. Data pelanggaran HAM ini merupakan hasil database LBH Banda Aceh sepanjang tahun 2014 yang berasal dari 3 kantor yakni, Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Meulaboh.
Kasus Pelanggaran Hak Sipil Politik
Kasus pelanggaran hak sipil politik yang terjadi sepanjang tahun 2014 sebayak 23 kasus yang terdiri dari kasus pelanggaran terhadap hak atas perlindungan dan kesewenangan hukum kriminal sejumlah 9 kasus, pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan dan segala perbuatan yang merendahkan martabat serta tidak manusiawi sebanyak 6 kasus, pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur sebanyak 3 kasus, kasus yang terkait dengan pemilu sebanyak 2 kasus, pelanggaran terhadap hak atas kesamaan di muka hokum tanpa diskriminasi, hak tahanan yang manusiawi, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi masing-masing 1 kasus.
Dari 23 kasus pelanggaran hak sipil politik, Kepolisian menjadi pelaku yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran, yaitu 11 kasus, diikuti oleh institusi pemerintah sebanyak 5 kasus, Hakim dan petugas Lapas masing-masing sebanyak 3 kasus, TNI serta Waliyatul Hisbah masing-masing sebanyak 1 kasus,.
Berdasarkan uraian tersebut, jelas terlihat bahwa reformasi institusi kepolisian yang bertujuan untuk mengubah citra polisi yang militeristik ke arah polisi sipil (civilian police) yang demokratik, profesional, dan akuntabel serta menjunjung tinggi hokum dan menghormati HAM dalam pelaksanaan tugasnya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidak optimalnya reformasi institusi kepolisian ini disebabkan karena polisi masih melakukan pelanggaran HAM dalam melaksanakan tugas pokoknya. Beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian seperti penyiksaan, penangkapan, penggeledahan dan penembakan sewenang-wenang dan unprosedural, rekayasa kasus, serta adanya sikap un due delay process dalam upaya penegakan hukum.
Lemahnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban dalam institusi kepolisian merupakan salah satu penyebab polisi menjadi aktor dominan pelanggaran terhadap hak sipil politik sepanjang tahun 2014. Ketidakmauan dan ketidakmampuan polisi untuk menindak anggota sendiri menyebabkan tidak adanya pelajaran yang dapat dipetik dan tidak dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi kalangan internal kepolisian, sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM masih terus dilakukan oleh anggota kepolisian.
Kasus Pelanggaran Hak Ekonomi Sosial Budaya
Pelanggaran HAM dalam aspek hak ekonomi, social dan budaya yang terjadi sepanjang 2014 berjumlah 33 kasus. Jumlah tersebut dapat dirinci dari kasus pelanggaran hak atas tanah dan tempat tinggal sebanyak 15 kasus, kasus perburuhan sebanyak 7 kasus, kasus pelanggaran hak atas kesehatan sebanyak 4 kasus, pelanggaran terhadap pelayanan public sebanyak 3 kasus, pelanggaran hak atas usaha/ekonomi sebanyak 2 kasus, kasus penggusuran dan kepegawaian masing-masing sebanyak 1 kasus.
Dari segi aktor/pelaku, perusahaan menempati posisi sebagai aktor yang paling dominan yang menyebabkan munculnya pelanggaran, yaitu sebanyak 13 kasus. Selanjutnya, Pemerintah Daerah menjadi pelaku untuk 9 kasus, institusi pemerintah menjadi pelaku untuk 6 kasus. Profesi medis (dokter) menjadi pelaku dalam 4 kasus, dan institusi Kejaksaan menjadi actor untuk 1 kasus.
Kepemimpinan Aceh yang dipimpin oleh Dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf masih tidak menunjukkan adanya perspektif keberpihakan pada pemenuhan dan perlindungan kedaulatan rakyat atas tanah. Hal ini terindikasi dengan maraknya pemberian konsesi dalam bidang eksploitasi dan pengelolaan SDA bagi kepentingan investasi. Kondisi tersebut tidak terlepas dengan begitu banyaknya Izin Usaha Pertambangan dan/atau Perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh untuk kegiatan investasi pertambangan dan perkebunan sawit di Aceh.
Sesungguhnya tiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan, dan apapun bentuknya yang mengakibatkan tersingkirnya hak rakyat atas atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam di segala sector agraria merupakan pelanggaran terhadap hak dasar mereka, yakni hak asasi. Oleh sebab itulah, hak masyarakat atas tanah dan hak mereka dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan hal yang harus dilindungi dan dijamin pemenuhannya oleh negara. Penekanan ini menjadi penting agar tercipta arah kebijakan politik negara yang mampu menjembatani kepentingan warga Negara dengan baik.
Namun, kondisi objektif menunjukkan bahwa penguasaan atas tanah di negeri ini selalu diwarnai oleh banyaknya kebijakan pertanahan yang kapitalistik. Kebijakan-kebijakan kapitalistik tersebut tidak dapat dipungkiri telah melahirkan ketidakadilan yang harusnya ditanggung oleh Negara, yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh warga Negara. Namun, kondisi objektif yang ada justru membuktikan bahwa Negara malah menggunakan otoritas kekuasaannya untuk secara sengaja menjadikan sekelompok orang untuk dapat menguasai sumber daya agrarian melebihi batas maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang. Tindakan pemerintah yang tak berpihak pada warganya, -terutama rakyat miskin dan kaum rentan- sesungguhnya adalah bentuk yang paling nyata dari tindakan kekerasan dan penindasan oleh Negara terhadap rakyat.
Selain itu, perusahaan juga tidak menunjukkan respektasi terhadap norma dan ketentuan dalam aspek hukum perburuhan dan ketenagakerjaan. Dari 7 kasus di bidang perburuhan, tidak ada satu pun kasus yang dalam penyelesaiannya perusahaan mentaati rekomendasi dan anjuran Dinas Ketenagakerjaan yang memfasilitasi upaya penyelesaian persoalan.Hal ini menunjukkan sikap dan watak kapitalistik yang kental dan tidak menghargai hak para pekerja. Selain itu, lemahnya pengawasan dari instansi yang berwenang juga menjadi salah satu penyebab maraknya kasus perburuhan.
Kasus Khusus
Dalam tahun 2014, LBH Banda Aceh juga memberikan layanan bantuan hukum yang dikategorikan sebagai bantuan hokum untuk kasusk husus. Bantuan hukum untuk kasus-kasus khusus diberikan secara cuma-cuma kepada klien yang terkategori tidak mampu, ditunjukkan dengan surat keterangan tidak mampu secara ekonomi sehingga yang bersangkutan benar-benar berhak untuk dilayani. Selain itu, dapat pula dilihat dari kemampuan klien untuk membayar advokat berdasarkan pendapatannya.
Sepanjang tahun 2014 tercatat sebanyak 56 kasus khusus yang ditangani LBH Banda Aceh. Jenis kasus khusus ini terdiri dari kasus perdata dengan jumlah 17 kasus, dan pidana dengan jumlah 39 kasus. Dari jumlah tersebut, 22 kasus ditangani melalui mekanisme litigasi dan 34 kasus mekanisme penanganannya melaui jalur non litigasi, dengan jumlah penerima manfaat sepanjang tahun 2014 adalah sebanyak 56 orang.
Selain menjalankan agenda pelayanan bantuan hukum, LBH Banda Aceh juga bekerjasama dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam melakukan pemantauan dan investigasi peradilan di Aceh. Dalam pelaksanaan kerja-kerja pemantauan dan investigasi peradilan, pada tahun 2014 LBH Banda Aceh telah melaporkan 3 (tiga) orang Hakim ke Komisi Yudisial terkait dengan adanya proses pengadilan yang tidak adil (unfair trial). Hal ini menunjukan bahwa pelangaran hukum dan etika oleh hakim pada tahun 2014 masih terjadi.
Berdasarkan kajian dan analisis yang dilakukan, LBH Banda Aceh menyimpulkan bahwa di tahun 2014 proses demokratisasi, penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Aceh masih mengalami proses yang kelam. Negara, sebagai alat (agency) yang mengatur dan mengendalikan persoalan bersama atas nama rakyat sudah seharusnya berusaha mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur dalam berbagai aspek kehidupan warga Negara. Berbagai kebijakan yang merugikan warga Negara, pola pengawasan dan upaya yang lemah dalam mewujudkan pemenuhan hak warga, serta sikap pengabaian terhadap kondisi kehidupan rakyat merupakan ‘kebiasaan dan sikap’ yang masih terjadi sepanjang tahun 2014.
Untuk itu, LBH Banda Aceh dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerintah harus lebih berkomitmen dan lebih serius dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan hokum dan menunjukkan perspektif keberpihakan terhadap perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
2. Kepolisian harus lebih serius melaksanakan upaya penegakan hokum secara transparant, profesional, dan akuntabel serta mengedepankan aturan hukum yang berlaku yang sesuai dengan cita-cita Negara hokum dan Hak Asasi Manusia, serta melakukan penguatan terhadap pengawasan, monitoring dan evaluasi kinerja di institusi kepolisian.
3. Lembaga peradilan harus lebih serius meningkatkan kapasitas dan penguatan perspektif Hak Asasi Manusia bagi seluruh aparatur peradilan –khususnya hakim—guna membangun lembaga peradilan yang menjunjung tinggi supremasi hukum yang berkeadilan, serta melakukan pola pengawasan internal yang lebih serius sehingga lahir putusan hakim yang dapat menjadi sumber keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi seluruh pencari keadilan.
4. Mendorong seluruh masyarakat untuk dapat terlibat dalam melakukan pengawasan terhadap upaya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia secara aktif sesuai dengan peran dan kapasitas masing-masing.
Banda Aceh, 31 Desember 2014
TTD
Mustiqal Syah Putra, S.H
Direktur LBH Banda Aceh